Rabu

BUYA HAMKA TENTANG JILBAB, KERUDUNG DAN AURAT MUSLIMAH (KH. Quraish Shihab Jilbab Tidak Wajib)

"Katakanlah, 'Tidaklah sama barang yang buruk dengan yang baik, walaupun engkau tercengang oleh banyaknya yang buruk.'" (al-Maa'idah pangkal ayat 100).

Pergaulan umum yang banyak kita lihat ialah pergaulan mungkar, pergaulan keji.

Kaum perempuan membuka auratnya di muka umum; dadanya didedahkannya, betis dan pahanya dibukanya, perut dan pusarnya dipertontonkannya.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 48-49, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Menurut kepercayaan umat beragama, menyampaikan percintaan itu zina namanya.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 7 Hal. 494, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

SIAPAKAH YANG TAHAN DAN TEGUH HATI MENEMPUH JALAN YANG BENAR?

"(Yaitu) orang-orang yang menjauh dari dosa-dosa yang besar dan yang keji-keji, kecuali yang sepintas lalu. Sesungguhnya Tuhan engkau adalah amat luas ampunan-Nya. Dia lebih tahu tentang keadaan kamu, ketika kamu ditimbulkan-Nya dari bumi dan ketika kamu masih janin dalam perut ibu kamu. Sebab itu janganlah kamu membersihkan diri. Dia pun lebih tahu siapa yang bertakwa." (an-Najm ayat 32).

DOSA YANG BESAR

Dosa-dosa yang besar ialah mempersekutukan Allah dengan yang lain, berkata tentang Allah tetapi tidak dengan pengetahuan, lancang memperkatakan soal-soal agama, padahal ilmu tentang itu tidak ada. Itu semuanya adalah termasuk dosa yang besar.

KEJI

Adapun yang keji-keji adalah yang menyakiti orang lain dan merusakkan budi pekerti, sebagai mencuri harta kepunyaan orang lain, berzina, membunuh sesama manusia. Ini termasuk yang keji.

Dalam ayat diberikan tuntunan agar kita jangan terperosok kepada dosa yang besar dan yang keji-keji itu, yaitu menjauhi. Jangan mendekati. Yang terang sekali ialah dari hal berzina, sampai di dalam Al-Qur'an dikatakan,

"Janganlah kamu dekati akan zina karena dia itu sangatlah keji dan jalan paling jahat." (al-Israa': 32).

Disuruh kita menjauhinya karena kalau sudah dekat kepadanya, sangatlah sukar melepaskan diri. Sebab itu maka duduk berkhalwat dengan perempuan, sangatlah dilarang, kalau bukan dengan istri sendiri. Karena sudah berdekat, samalah artinya dengan mendekatkan minyak bensin dengan api menyala, sehingga dapatlah kita mengerti bahwa di dekat tangki bensin, janganlah kita merokok.

AL-LAMAM

"Kecuali yang sepintas lalu."

Yaitu dosa kecil yang datang selintas lalu tak sengaja. Misalnya tergiur mata melihat perempuan cantik. Sebab itu Rasulullah saw. melarang kita mengikuti pandangan pertama dengan pandang kedua. Yang sekiranya seorang laki-laki yang sehat badannya tidak tergerak hatinya melihat perempuan cantik dengan liuk lenggangnya. Bertanyalah kita apakah laki-laki itu tidak ada nafsu kelaki-lakiannya. Sebab itu semata tergiur melihat perempuan cantik, bernamalah sepintas lalu, yang dalam ayat ini disebut lamam. Kalau hanya semata-mata begitu tidaklah diambil berat, masih bisalah dimaafkan. Sebagaimana gurindam orang Melayu: "Hati bolehlah ditahan, tetapi mata tidak dapat didinding. Didinding pun dengan telapak tangan, namun di sela jari pun dia melihat juga."

Sebab itu sebelum dia jadi dosa, yang mulai akan berat, jika kelihatan yang begitu, palingkanlah penglihatan kepada yang lain. Menurut pepatah Melayu juga, "Mata palingan Tuhan, hati palingan Setan."

"Sesungguhnya Tuhan engkau adalah amat luas ampunan-Nya."

Tidaklah Allah akan memandangnya sebagai suatu dosa, kalau hanya sekadar sepintas lalu tak sengaja. Itu sebabnya maka manusia disuruh menjauhi zina sebab kalau sudah terdekat susah buat membebaskan diri.

"Dia lebih tahu tentang keadaan kamu ketika kamu ditimbulkan-Nya dari bumi."

Dalam ayat ini dikatakan bahwa Allah lebih tahu keadaan manusia. Manusia yang normal, yang badannya sehat tertarik oleh kecantikan perempuan. Semata tertarik saja bernama sepintas lalu, bernama lamam. Tertarik yang begini dimaafkan dan hati-hatilah menjaga supaya aturan Allah jangan sampai terlanggar.

"Sebab itu janganlah kamu membersihkan diri."

Janganlah mengatakan bahwa engkau sebagai seorang laki-laki tidak tertarik kepada perempuan dan engkau sebagai perempuan tidak mengharapkan kedatangan seorang laki-laki akan jadi teman hidupmu! Jangan mendustai diri sendiri!

Maka tersebutlah di dalam riwayat, bahwasanya seorang sahabat Nabi saw., yaitu Sayyidina Anas bin Malik, bekas pembantu rumah tangga Rasulullah saw. yaitu ke masjid di waktu Dhuha, di tengah jalan kelihatan oleh beliau seorang perempuan sedang melenggang dengan ayunan langkah yang indah, sehingga beliau tertegun melihatnya. Tetapi baru saja mata hendak melihat lama, beliau pun insaf lalu segera membaca "Astaghfirullah" dan langsung meneruskan perjalanan ke dalam masjid Madinah. Sedang Sayyidina Utsman bin Affan, Khalifah ketiga dan Rasulullah saw. mulai duduk di hadapan sahabat-sahabat Nabi saw. yang hidup dalam keutamaannya. Baru saja Anas bin Malik hendak duduk, berkatalah Khalifah Utsman, "Aku melihat ada bekas zina pada matamu, hai Anas!" Dengan tercengang dan penuh kejujuran Anas bertanya, "Adakah wahyu lagi sesudah Rasulullah, ya Amirul Mukminin?" Dengan tersenyum Khalifah menjawab bahwa beliau bukan menerima wahyu, sesudah Rasulullah saw. wafat, wahyu tidak turun lagi. Beliau mengatakan bahwa ini adalah semata-mata firasat yang diberikan Allah kepada beliau. Maka mengakulah Anas bin Malik dengan terus terang bahwa ketika akan masuk ke dalam masjid, dia melihat perempuan berjalan dengan lenggang-lenggok yang menggiurkan. Tetapi belum lama dia menengok, dia pun sadar lalu membaca "Astaghfirullah!"

Cerita ini saya baca di dalam kitab Madarijus Salikin. Dia memberikan kesan pada kita tentang hadits Nabi saw. yang berbunyi,

"Awaslah kamu akan firasat orang yang beriman, karena dia memandang dengan nur Allah."

Kesan kedua ialah kejujuran Anas bin Malik karena segera dia memalingkan muka kepada yang lain dan diiringi dengan mengucapkan istighfar, memohon ampun, karena dia telah bertemu dosa sepintas lalu atau lamam.

Di sini kita pun mendapat kesan yang mendalam sekali tentang kedua sahabat Rasulullah yang ada dalam diri Utsman bin Affan. Baru saja Anas masuk ke dalam majelisnya dia sudah melihat, berkata nur iman yang ada dalam dirinya bahwa bekas zina kelihatan pada mata Anas bin Malik. Dan Anas bin Malik pun sebagai orang beriman yang jujur tidak membantah perasaan Utsman itu malahan bertanya, apakah sesudah Rasulullah saw. meninggal dunia masih ada wahyu turun. Utsman pun menjawab bahwa soal ini bukanlah soal wahyu, melainkan soal cahaya dari iman. Dan Anas pun mengaku bahwa memang matanya tergiur melihat lenggang-lenggok perempuan cantik, namun dia segera mengucapkan "Astaghfirullah", memohon ampun kepada Allah atas matanya yang tertarik melihat lenggok itu, dan dengan demikian selesailah soal. Maka bukanlah Anas membela diri lalu berbuat dusta, karena berdusta pun akan menambah kesalahannya juga. Dan terkenallah Anas dalam kehidupannya sebagai seorang yang shalih dan dapat dijadikan teladan dalam sepak terjang dan tingkah lakunya.

Kita pun sebagai Muslim yang jujur akan mengakui terus terang bahwa mata kita pun tidak akan tertutup melihat yang cantik, apatah lagi di zaman seperti sekarang ini, di mana tubuh perempuan kembali terbuka, rasa malu sudah habis, sehingga perempuan lebih suka mempertontonkan dirinya daripada menjaga auratnya. Maka kalau sekiranya salah lihat sedikit sudah dosa, dan salah keluh sedikit sudah dosa, salah tegur sudah dosa, bagaimanakah lagi akan dapat hidup di tengah-tengah alam seperti ini.

Ibnu Katsir seperti kita uraikan tadi, mengatakan bahwa lamam ialah dosa-dosa kecil dan pekerjaan remeh.

Menurut sebuah hadits yang dirawikan oleh al-Imam Ahmad yang beliau rawikan daripada Abdurrazaq, dan beliau ini menerima dari Ma'mar dan beliau menerima daripada Ibnu Thawus, dan Ibnu Thawus ini menerima daripada ayahnya sendiri, dan beliau ini menerima dari Ibnu Abbas. Bahwa Ibnu Abbas mengatakan, Tidak ada saya melihat perumpamaan yang tepat untuk arti al-Lamam itu melainkan yang saya dengar dari Abu Hurairah, yang diterimanya daripada Nabi saw. dan beliau bersabda,

"Sesungguhnya Allah Ta'aala apabila telah menuliskan nasib seorang anak Adam akan terbentur kepada zina, pastilah akan ditemuinya. Tak dapat tidak! Zina mata ialah memandang, zina lidah bercakap, dan zina nafsu ialah mengangankan dan menginginkan, dan alat kelamin sendiri mengiyakan atau mendustakan!" (HR. Imam Ahmad).

Ibnu Jarir menyatakan pendapat begitu juga. Dia berkata, "Aku menerima hadits dari Muhammad bin Abdul A'laa, dia menerima riwayat dari Abu Tsaur dan dia menerima riwayat dari Ma'mar, dan dia ini menerima riwayat dari al-A'masy, dia ini menerima dari Abduh Dhuhaa, dari Abdullah bin Mas'ud. Abdullah bin Mas'ud ini berkata, "Zina mata melihat, zina mulut mencium, zina tangan memegang, zina kaki berjalan maka kemaluannya akan membenarkan yang demikian atau mendustakannya. Jika dia memberanikan dirinya lalu mempergunakan farajnya (alat kelaminnya) menjadi berzinalah dia di waktu itu. Kalau tidak sampai, itulah dia yang al-Lamam." (HR. Ibnu Jarir).

Abdurrahman bin Nafi' yang memakai nama lain yang lebih terkenal, yaitu Ibnu Labbabah ath-Thaifi berkata bahwa dia pernah menanyakan kepada Abu Hurairah apa arti al-Lamam. Beliau ini memberikan jawaban, "Al-Lamam ialah sampai mencium, sampai memandang jenuh, berolok-olok sampai meraba dan memegang. Tetapi kalau khitan sama khitan telah beradu, waktu itulah mandi dan itulah yang zina."

Yang akan membaca tafsir ini adalah orang-orang dewasa, yang tambahan ilmunya bukan buat menjadikannya tersesat.

Sungguh pun begitu kita salinkan pula pandangan lain tentang arti al-Lamam.

Menurut keterangan Ibnu Thalhah yang diterimanya dari Ibnu Abbas, arti al-Lamam ialah dosa yang telah terlanjur (bukan dosa sepintas lalu).

Mujahid mengartikan al-Lamam telah terlanjur berbuat dosa namun dia segera bertobat daripadanya.

Tentu saja dengan rasa hormat setinggi-tingginya kita menyambut apa yang diucapkan oleh Abu Hurairah dan kita pun percaya bahwa beliau tidaklah akan sampai berbuat sebagai yang beliau katakan itu. Tetapi kalau kiranya pendapat beliau tentang apa yang dikatakan al-Lamam, sampai mencium, meraba, memegang, bahwa semuanya itu masih terhitung dosa kecil, maka bagi orang yang imannya masih berkurang-kurang amatlah mudah mereka salah memahamkannya. Karena kita tahu bahwa zina tidaklah hanya sekadar menyinggung-nyinggung, mencium, meraba-raba, tetapi yang demikian itu adalah permulaan saja dari suatu perzinaan. Nabi Muhammad saw. bertanya kepada salah seorang sahabatnya, apakah dia sudah kawin. Sahabatnya menjawab bahwa dia telah kawin dengan seorang janda. Lalu beliau bersabda, "Mengapa tidak engkau pilih yang perawan saja supaya dia bermain-main dengan engkau dan engkau pun bermain-main dengan dia." Tegasnya ialah bahwa tidak ada orang yang langsung saja berzina dengan tidak bermain-main lebih dahulu. Itu pula sebabnya maka Rasulullah saw. melarang mendekati zina. "Mendekati" ialah dari bermain-main itu, pandang-memandang, senyum-bersenyum, raba-meraba. Kalau sekiranya yang dimaksud dengan al-Lamam hanya sekadar demikian, nafsu laki-laki akan terjerumus kepada zina karena memandang bahwa semata meraba-raba, menyinggung-nyinggung dianggap dosa kecil saja.

Sebab itu kita lebih condong kepada mengartikan al-Lamam dengan terlanjur. Terlanjur berbuat dosa yang besar itu, entah sampai berzina, lalu insaf dan tobat. Entah sampai terlanjur mencuri barang orang lain, lalu menyesal dan tobat, dan berjanji tidak akan berbuat lagi. Terlanjur meminum minuman yang memabukkan, lalu timbul penyesalan, lalu tobat dan tidak berbuat lagi. Orang tobat seperti inilah yang akan diterima tobatnya oleh Allah. Sebab Allah itu amat luas maghfirah dan ampunan yang Dia anugerahkan kepada hamba-Nya yang terlanjur. Sebab, Allah itu lebih mengetahui dari asal kejadian manusia, yaitu dari tanah yang berarti lemah di dalam menghambat dorongan hawa nafsunya.

Kita lebih condong kepada paham yang kedua, bahwasanya arti al-Lamam ialah terlanjur berbuat dosa. Karena ketika itu orang tidak dapat mengendalikan diri lagi. Di dalam kitab kamus disebut tentang al-Lamam,

"Arti al-Lamam ialah gila yang ringan atau sesudut dari gila yang membuat manusia terlanjur mendekati dosa tetapi tidak sampai terperosok; dosa kecil." (Lihat al-Munjid).

Ketiga makna ada disebutkan di dalam, dengan yang pertama sekali mengartikannya dengan orang yang mendekati gila. Artinya bahwasanya ketika orang terlanjur berbuat dosa itu pertimbangan yang jernih tidak ada lagi. Orang sudah sama dengan gila, karena pikiran sehat tidak ada lagi. Kemudian setelah terlanjur berbuat kesalahan itu, tobat nashuha, dan mempunyai iradat yang kuat buat kembali kepada jalan yang benar, niscayalah Allah akan memberi ampun kepadanya. Tentang terlanjurnya itu dapatlah dimengerti, bahkan Allah dapat memaklumi karena kejadian manusia itu dari tanah, artinya diri manusia itu tumbuh dengan nafsu, cara modernnya, penuh dengan seks.

Maka kalau kiranya manusia memandang bahwa arti al-Lamam ialah seperti yang diriwayatkan tadi, memegang-megang bahkan sampai kepada mencium, dipandang bahwa itu hanya al-Lamam saja, dengan arti dosa kecil, akan banyaklah perdayaan Setan kepada manusia yang usianya masih muda, akan mudahlah dia terperosok bermain-main dengan perempuan lain. Kalau dikatakan bahwa dia adalah orang yang beriman, sebab itu dia tidak akan terperosok melanjutkan dari meraba-raba, mencium, memegang-megang, dia tidak akan mau melanjutkan berbuat zina, atau tegasnya bersetubuh. Karena tidaklah mungkin orang yang beriman bermain-main ke tepi bahaya karena takut akan terperosok ke dalam, sebagaimana tersebut di dalam hadits,

"Seperti orang yang menggembala di keliling Pagar, dikeragui dia akan jatuh ke dalamnya." (HR. Bukhari dan Muslim).

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 8 Hal. 550-555, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Nabi saw. bersabda: "Sesungguhnya Allah telah menetapkan pada setiap anak cucu Adam bagiannya dari perbuatan zina yang pasti terjadi dan tidak mungkin dihindari, maka zinanya mata adalah melihat, sedangkan zinanya lisan adalah ucapan, zinanya nafsu keinginan dan berangan-angan, dan kemaluanlah sebagai pembenar semuanya atau tidak." (HR. Bukhari No. 5774 dsb).

FIRASAT

Ketika Utsman bin Affan duduk di dalam majelisnya, dikelilingi oleh sahabat-sahabat Rasulullah saw., dalam kedudukan beliau sebagai Khalifah atau Amirul Mu'minin, masuklah Anas bin Malik ra. Baru saja dia duduk, Sayyidina Utsman berkata: "Aku melihat bekas zina pada mata engkau." Maka bertanyalah Sayyidina Anas: "Masih adakah wahyu sesudah Rasulullah, wahai Amirul Mu'minin?" Sayyidina Utsman menjawab bahwa itu bukanlah wahyu, hanya firasat. Maka mengakulah Sayyidina Anas bin Malik terus terang, bahwa dalam perjalanan beliau hendak menuju Majelis Amirul Mu'minin itu dia bertemu seorang perempuan. Dia menegur atau menyapa perempuan itu. Tetapi dia tertarik melihat lenggok jalan perempuan itu. Itulah rupanya yang lekat pada matanya. Dan untuk mencegah jangan sampai perasaan itu mengesan ke hatinya, dia baca saja "Astaghfirullah". Sesudah itu dia masuk ke dalam Majelis Amirul Mu'minin. Namun kesan itu masih tampak oleh mata Sayyidina Utsman bin Affan.

Di dalam surah al-Hijr ayat 75, ada tersebut:

"Sesungguhnya pada yang demikian, adalah tanda-tanda bagi orang yang memerhatikan tanda-tanda."

Ahli-ahli tafsir menafsirkan bahwa al-Mutawassimiina, yang berarti orang yang memerhatikan tanda-tanda itu ialah orang yang mengerti firasat.

Dari Abu Said al-Khudri ra. (hadits marfu') bersabda Rasulullah saw.:

"Awaslah kamu akan kena firasat dari orang yang beriman, karena dia memandang dengan Nur Allah." (HR. Tirmidzi).

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 7 Hal. 441, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

ZINA

"Dan janganlah kamu dekati zina. Sesungguhnya dia itu adalah keji dan sejahat-jahat jalan." (al-Israa' ayat 32).

Khalwat, yaitu berdua-dua saja laki-laki dengan perempuan, termasuk mendekati zina. Islam mengharamkan khalwat. Bahkan, khalwat dengan mahram sendiri pun hendaklah dibatasi. Dan dilarang perempuan-perempuan memakai pakaian yang dapat membangkitkan syahwat. Kasiatin ariatin; berpakaian tetapi bertelanjang, you can see! Dan termasuk juga pendekat zina adalah film-film, gambar-gambar, dan majalah-majalah telanjang, porno, nyanyian-nyanyian yang berisi ajakan buruk. Dansa-dansa dan peluk-pelukan. Termasuk juga larangan bepergian jauh perempuan (musafir) tidak diantar oleh suaminya atau mahram-nya.

Orang-orang modern kerap mencemoohkan orang-orang yang mempertahankan hukum agama ini. Katanya, perempuan-perempuan terpelajar tidak usah dikungkung dengan segala haram itu.

Padahal, terpelajar atau tidak terpelajar namun asal bernama perempuan, dia tetap mempunyai syahwat seks.

Filsuf Indonesia yang besar, Almarhum Haji Agus Salim, pernah didatangi oleh pemuda-pemudi yang telah mendapat didikan modern, menyatakan mereka hendak bertunangan. Beliau anjurkan mereka nikah saja dahulu, walaupun belum akan pesta, karena kata beliau, jika kalian nikah lebih dahulu, kalian tidak akan dihalangi oleh tekanan-tekanan batin di saat kalian cuma berdua saja. Dan orang tua pun tidak ragu-ragu melepaskan. Dan kalau kemudian tidak senang, kalian boleh cerai. Dan kalau kalian beranak, anak itu tidak akan ragu menghadapi hidup sebab dia tahu siapa ayahnya. Pemuda-pemudi yang tidak menuruti nasihat beliau itu jarang yang selamat. Dan yang mematuhinya, setelah beberapa waktu kemudian, datang kepada beliau mengucapkan terima kasih.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 5 Hal. 281, 283-284, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

GAMBAR-GAMBAR TELANJANG. Di mana pun di dunia adalah perjuangan hebat di antara buruk dan baik. Di Amerika pun kita melihat ini. Kita mendengar hal yang lebih hebat daripada gambar perempuan telanjang, yaitu adanya perkumpulan nudisme. Suatu perkumpulan di dalam tempat tertutup terbatas, yang di sana segala anggotanya, laki-laki tua dan muda, perempuan sejak dari susu yang baru tumbuh sampai kepada susu yang telah kempis, telanjang belaka di tempat itu. Katanya perkumpulan itu mempunyai filsafat sendiri. Aurat alat setubuh, susu, dan seluruh badan karena disembunyikan seperti sekaranglah maka menimbulkan nafsu. Apabila semuanya telah dipertontonkan tidak akan ada ketertarikannya lagi. Sebab itu, buka saja semua, habis perkara!

Ada yang membawa-bawa nama sebagian dari tanah air kita, yaitu Bali. Di sana katanya susunya terbuka maka sudah seperti biasa saja. Tidak ada keterarikannya lagi. Perkumpulan ini ada di Amerika dan ada pula di Eropa. Di Jerman sebelum perang, sebelum kekuasaan Hitler pun besar juga pengikutnya. Rupanya terlalu panjang pikiran manusia sebab manusia ingin bebas. Padahal, dia tidak bebas. Jadi manusia keberatan, lebih baik terug naar de natuur (kembali ke alam asli). Seperti kuda lepas!

Kabarnya konon di tempat mandi umum, keluarlah pakaian mandi yang kian lama kian diperbaiki modenya sehingga kian menarik nafsu seks. Terkenal pakaian mandi bikini. Tepi pantai yang indah-indah adalah tempat mengedaikan badan di musim-musim panas. Korbannya tentu banyak. Namun, tidaklah lagi sebanyak korban di negeri-negeri yang baru menjadi Pak Tiru. Tempat-tempat demikian dijaga polisi. Di sana merdeka mempertontonkan tubuh, sampai kepada garis demarkasi yang tidak boleh ditempuh lagi. Jika keluar dari batas tempat mandi itu, kalau dipakai juga ditangkap polisi sebab melanggar susila!

(Buya HAMKA, 4 Bulan di Amerika, Hal. 187-188, Penerbit Gema Insani, Cet.I, Mei 2018).

ALLAH MAHA ESA PADA HAK-NYA

Ertinya Ia sendiri yang berhak menghalalkan dan mengharamkan atau mewajibkan dan lain-lain hukum bernama hukum syara', semuanya itu hak Allah belaka dan semata-mata.

Maka tidaklah dibenarkan dalam Islam seseorang hamba menetapkan barang apa hukum lain daripada yang telah ditetapkan Allah.

(Buya HAMKA, Ayahku, 470, PTS Publishing House Malaysia, 2015).

HAKIKAT ISLAM

Kita kemukakan soal ini ialah untuk membuktikan maksud ayat bahwa Ahlul Kitab timbul silang sengketa sesudah mereka mendapat ilmu yang nyata tentang hakikat agama, ialah setelah ada baghyan, artinya pelanggaran batas. Yaitu pemuka agama telah melampaui batas mereka. Mereka telah menguasai agama dan memutuskan tidak boleh berpikir lain dari apa yang mereka putuskan. Kalau mereka berkuasa, mereka tidak segan bertindak kejam kepada orang yang dipandang sesat walaupun dengan memberikan hukuman yang sengeri-ngerinya sekalipun.

Ayat ini adalah satu peringatan (sinyalemen), terutama kepada kita kaum Muslimin. Apabila orang telah melampaui batasnya, manusia hendak mengambil hak Tuhan, perpecahan itu pulalah yang akan terjadi. Dalam Islam telah timbul sebagai Madzhab, seumpama Syi'ah, Khawarij, Murji'ah, Mu'tazilah, dan Ahlus Sunnah. Sejarah 14 Abad bukan sedikit, menumpahkan darah sesama Muslimin karena perlainan Madzhab.

Selain ditilik dan dipandangi Allah bagaimana cara hamba-Nya menegakkan keyakinannya dan menyampaikan seruannya. Kalau mereka tidak melanjutkan tugas Rasul, yaitu ber-tabligh, kian lama kian gelaplah penerangan agama. Jangankan orang lain yang akan dapat diinsafkan, bahkan yang telah ada di dalam pun bisa tercampak keluar. Apatah lagi kalau agama itu hanya tinggal nama. Bernama Islam atau Muslim, tetapi mereka tidak menyerah diri kepada Allah. Akibat dari penyerahan diri itu tidak lain ialah kepatuhan dan taat; mengerjakan yang diperintahkan dan menghentikan yang dilarang. Penyerahan itu menjadi bulat kepada yang satu, itulah TAUHID. Itulah dia Islam yang sejati. Siapa yang tidak insaf, mereka pun menyerah diri kepada Thaghut dan Setan.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 599-601, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Ketenteraman jiwa yang timbul lantaran dipupuk oleh TAUHID dan ihsan menyebabkan tidak ada rasa keberatan dan tidak ada pokrol-pokrolan terhadap sekalian hukum agama.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 299, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

PENYAKIT JIWA itu dipancing dengan pakaian yang menimbulkan syahwat. Maka Islam memberi batas-batas apa yang dinamai aurat. Bukan pula dia menentukan mode dan bentuk suatu pakaian. Islam tidak melarang berpakaian secara Eropa dan Amerika. Islam tidak mewajibkan orang mesti memakai pakaian menurut suatu corak. Karena itu adalah termasuk kebudayaan. Pakaian Eropa ada yang sopan, tertutup aurat mengapa tidak itu yang ditiru? Islam tidak memerintahkan perempuan menutup tubuhnya dengan goni dan matanya saja yang keluar! Apa gunanya membungkus badan dengan goni itu, padahal mata yang keluar sedikit itu penuh syahwat seakan-akan mengucapkan "pegang aku!" Di Timur, di negeri-negeri Islam, dan di Barat, di negeri-negeri Kristen, ada pakaian yang sopan, dan bila dipakai oleh seorang perempuan timbullah rasa hormat kita!

(Buya HAMKA, PELAJARAN AGAMA ISLAM Jilid 3, Hal. 175-176, Republika Penerbit, Cet.1, April 2018).

POKOK BERPIKIR

Peraturan Islam itu dari Allah dan Rasul, tidak dicampuri oleh pendapat umum manusia.

Meskipun kadang-kadang ijtihad manusia masuk juga ke dalamnya, ijtihad itu tidak lebih tidak kurang daripada garis yang telah ditentukan.

Hasil pendapat tidak boleh berubah dari maksud syari'at.

"Allah memberikan keteguhan kepada orang yang beriman dengan kata yang tidak berubah-ubah, dalam hidup di atas dunia dan akhirat. Dan Allah akan menyesatkan orang yang aniaya dan Allah berbuat apa yang Dia kehendaki."

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 36-37, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

DAKWAH

Di dalam melakukan dakwah, bukanlah mengarang sendiri dakwah itu menurut yang enak di pikiran kita sendiri saja. Kita harus mempunyai dasar dari Al-Qur'an, dari sunnah Nabi saw., dan dari tafsiran ulama-ulama ikutan yang kebilangan.

Imam Hambali, meskipun menemui suatu hadits yang dhaif, beliau menerima hadits dhaif itu untuk dijadikan hujjah dalam menentukan hukum, kalau tidak diperoleh hadits lain yang lebih shahih. Bagi beliau hadits dhaif itu lebih baik daripada memakai ra'yi (pendapat sendiri).

(Buya HAMKA, PRINSIP DAN KEBIJAKSANAAN DAKWAH ISLAM, Hal. 171-172, Penerbit Gema Insani, Cet.1, Maret 2018).

Terkait metodologi penafsirannya, Tafsir Al-Azhar mengambil sumber secara berturut-turut dari Al-Qur'an, Assunnah, aqwal (perkataan) para sahabat Nabi, aqwal tabi'in, kitab-kitab tafsir muktabar.

insists.id/dari-warisan-untuk-masa-depan-seminar-sehari-butir-butir-pemikiran-buya-hamka

Berkenaan dengan hukum, kita tidak boleh menambah tafsir lain. Sebab, tafsiran yang lain bisa membawa bid'ah dalam agama.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 26, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

WASPADAI 'HADITS' PALSU/BATIL/MUNKAR: Rambut = digantung di Neraka dsb.

BAGI YANG TURUT MENYEBARKANNYA

Rasulullah saw. bersabda: "Cukuplah seseorang (dianggap) berbohong apabila dia menceritakan semua yang dia dengarkan." (HR. Muslim No. 6 dsb).

AL-QUR'AN BUKAN BUKU MODE!

PAKAIAN SOPAN

"Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istri engkau dan anak-anak perempuan engkau dan istri-istri orang-orang yang beriman, hendaklah mereka melekatkan jilbab mereka ke atas diri mereka. Yang demikian itu ialah supaya mereka lebih mudah dikenal, maka tidaklah mereka akan diganggu orang. Dan Allah adalah Pemberi Ampun dan Penyayang." (QS. al-Ahzaab ayat 59).

Al-Qurthubi dalam tafsirnya mengatakan bahwa jilbab itu lebih luas dari selendang.

Ibnu Abbas dan Ibnu Mas'ud, keduanya sahabat Rasulullah yang terhitung alim mengatakan bahwa jilbab ialah rida', semacam selimut luas.

Al-Qurthubi menjelaskan sekali lagi, "Yang benar ialah sehelai kain yang menutupi seluruh badan."

Ibnu Katsir mengatakan bahwa jilbab ialah ditutupkan ke badan di atas daripada selendang.

Sufyan Tsauri memberikan penjelasan, bahwa makanya istri-istri Nabi dan anak-anak perempuan beliau dan orang-orang perempuan beriman disuruh memakai jilbab di luar pakaian biasa ialah supaya jadi tanda bahwa mereka adalah perempuan-perempuan terhormat dan merdeka, bukan budak-budak, dayang dan bukan perempuan lacur.

As-Suddi berkata, "Orang-orang jahat di Madinah keluar pada malam hari seketika mulai gelap, mereka pergi ke jalan-jalan di Madinah, lalu mereka ganggui perempuan yang lalu lintas. Sedang rumah-rumah di Madinah ketika itu berdesak-desak sempit. Maka jika hari telah malam perempuan-perempuan pun keluar ke jalan mencari tempat untuk membuangkan kotoran mereka. Di waktu itulah orang-orang jahat itu mulai mengganggu. Kalau mereka lihat perempuan memakai jilbab tidaklah mereka ganggu. Mereka berkata, "Ini perempuan merdeka, jangan diganggu." Kalau mereka lihat tidak memakai jilbab, mereka berkata, "Ini budak!", lalu mereka kerumuni."

Itulah sebab maka lanjutan ayat berbunyi,

"Yang demikian itu ialah supaya mereka lebih mudah dikenal, maka tidaklah mereka akan diganggu orang."

Karena dengan tanda jilbab itu jelaslah bahwa mereka orang-orang terhormat.

"Dan Allah adalah Pemberi Ampun dan Penyayang." (ujung ayat 59).

Maksud ujung ayat ialah menghilangkan keragu-raguan manusia atas kesalahan selama ini, sebelum peraturan ini turun.

Karena orang-orang terhormat, perempuan-perempuan beriman berpakaian sama saja dengan budak dan perempuan lacur.

Dalam ayat yang kita tafsirkan ini, jelaslah bahwa bentuk pakaian atau modelnya tidaklah ditentukan oleh Al-Qur'an.

Yang jadi pokok yang dikehendaki Al-Qur'an ialah pakaian yang menunjukkan iman kepada Allah SWT, pakaian yang menunjukkan kesopanan.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 7 Hal. 259-262, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

KAIDAH USHUL FIQIH

Meskipun terdapat beberapa riwayat tentang sebab turun ayat, namun yang kita jadikan pedoman ialah isinya. Karena tersebut di dalam kaidah ushul fiqih:

"Yang dipandang adalah umum maksud perkataan, bukanlah sebab yang khusus."


Artinya, yang dipandang ialah maksud dan tujuan perkataan, bukanlah tentang sebab turunnya ayat.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 719, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

On hijab, Shihab quotes Imam al-Syafi'i, one of the founders of Islamic jurisprudence, who said: "I cannot say — and even others with great knowledge will never say — that this (the hijab law) has been mujma' 'alaihi (universally agreed)."

Why Some Muslim Women Don't Wear Hijab

jakartaglobe.beritasatu.com/archive/why-some-muslim-women-dont-wear-hijab

BUKAN ULAMA YAHUDI

Di sinilah terasa beratnya memikul tugas menjadi ulama dalam Islam.

Yakni di samping memperdalam pengetahuan tentang hakikat hukum, memperluas ijtihad, hendaklah pula ulama kita meniru meneladani ulama pelopor zaman dahulu itu, sebagai Imam Malik, Abu Hanifah, asy-Syafi'i, dan Ahmad bin Hambal, dan lain-lain,

Yaitu keteguhan pribadi dan kekuatan iman, sehingga di dalam menegakkan hukum mereka itu tidak dapat dipengaruhi oleh harta benda, dan tidak sampai mereka mengubah-ubah makna dan maksud ayat,

Karena tenggang-menenggang atau ketakutan; walaupun untuk itu diri-diri beliau kerapkali menderita.

Itulah ulama Islam, bukan ulama Yahudi.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 713, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

JAWABAN (ringkasan).

Setelah saya baca dengan saksama pendahuluan dan pertanyaan-pertanyaan itu, perbandingan keterangan guru agama Islam di Jetis, Yogyakarta dan seorang ustadz di Tasikmalaya, dapat diambil kesimpulan bahwa keterangan Ibu yang di

Yogya sedikit ringan dan yang Tasikmalaya sedikit ketat.

Bapak mengerti perubahan zaman.

Namun agama Islam tidaklah berubah.

Dia tetap pada prinsipnya "jagalah Kesopanan" dan janganlah Tabarruj!

Sekian jawaban Bapak.

Bapak berikan agak panjang supaya berfaedah juga bagi yang lain.

(Buya HAMKA, 1001 Soal Kehidupan, Hal. 164-165, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

SESAT DAN MENYESATKAN

Ibnul Qayyim mengingatkan bahwa tradisi, motivasi, situasi, tempat dan waktu memengaruhi perubahan dan keragaman fatwa atau pemikiran hukum atau fikih. Ia mendeklarasikan adagiumnya (kaidah) yang berbunyi: "Perubahan dan keragaman fatwa (dimungkinkan terjadi) karena memperhatikan perubahan zaman, tempat, keadaan, niat dan adat-istiadat."

Ibnul Qayyim al-Jauziyyah menegaskan bahwa melahirkan fatwa atau fikih tanpa memperhatikan lima faktor yang telah disebutkan merupakan keputusan yang sesat dan menyesatkan.

(Fikih Kebinekaan, Hal. 318-319, Penerbit Mizan, Cet.1, 2015).

Berkata Imam Ghazali,

"Kerusakan negeri karena kerusakan raja, kerusakan raja karena kerusakan ulama, yaitu ulama su' (ulama jahat)."

Tidak boleh diikuti kalau ulama menunjukkan fatwa yang sesat.

(Buya HAMKA, Tasawuf Modern: Bahagia itu Dekat dengan Kita; Ada di dalam Diri Kita, Hal. 158, Republika Penerbit, Cet.3, 2015).

SAMBUTAN SEBAGAI KETUA MAJELIS ULAMA INDONESIA 27 JULI 1975

Salah seorang dari imam kita yang empat, yaitu Imam Malik bin Anas, memberikan patokan kepada kita:

"Ulama itu adalah pelita dari zamannya."

Dia membawa terang bagi alam yang berada sekelilingnya.

Maka, kalau 50 Tahun lampau, bahan bakar penerang sekeliling baru minyak tanah, ulama adalah petromaks.

Di zaman sekarang, lampu-lampu listrik ukuran 100 watt, ulama hendaklah 1.000 watt.

(Rusydi HAMKA, Pribadi Dan Martabat Buya HAMKA, Hal. 306, Penerbit Noura, Cet.I, Januari 2017).

TAHKIM YANG JITU

"Telah aku tinggalkan pada kamu dua hal yang penting. Sekali-kali tidaklah kamu akan tersesat selama kamu masih berpegang kepada keduanya, yaitu Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya." (hadits shahih; HR. Bukhari dan Muslim dan beberapa ulama hadits yang lain).

Imam Malik pernah mengatakan,

"Ulama itu adalah pelita dari zamannya."

Tandanya, selain dari mengetahui ilmu-ilmu agama yang mendalam,

Ulama hendaklah pula tahu keadaan makaan (ruang) dan zamaan (waktu) sehingga dia tidak membeku (jumud).

Karena dengan jumud dan beku, mereka tidak akan dapat memberikan Tahkim yang jitu sebagai penerima waris dari Rasulullah saw. kepada masyarakat yang selalu berkembang.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 355-356, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

KESIMPULAN

PENEGASAN ALLAH, DENGAN SUMPAH bahwa orang yang tidak mau menerima Tahkim dari ALLAH dan RASUL-NYA, TIDAKLAH termasuk ORANG yang BERIMAN, "Walau shallaa, walau shaama!" WALAUPUN dia SHALAT, walaupun dia PUASA.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 353, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

PROPAGANDA MURAHAN

Kalau ada orang membuat propaganda (kampanye), barangsiapa berani menyatakan paham yang baru tentang khilafiyah bahwa orang itu telah keluar dari Islam,

Ketahuilah itu propaganda (kampanye) murahan yang hanya laku untuk golongan jahil yang terbatas.

(Buya HAMKA, Dari Hati Ke Hati, Hal. 67-73, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

Hujjatul Islam: Buya HAMKA

republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/04/12/m2clyh-hujjatul-islam-buya-hamka-ulama-besar-dan-penulis-andal-1

BANTAHAN TERHADAP TINJAUAN PROF. DR. VERKUYL PERIHAL TALAK

Orang yang tidak mengetahui hakikat sumber hukum dalam Islam dapat menyangka bahwa fiqih adalah sumber hukum. Padahal, fiqih bukanlah sumber hukum dalam Islam, melainkan hasil analisis hukum dari fuqaha (ahli fiqih). Fiqih artinya 'paham' atau lebih tegas lagi 'hasil pemikiran'. Hasil pemikiran itu ijtihad namanya, yang mungkin benar dan mungkin pula salah.

Adapun SUMBER yang diakui oleh SEKALIAN MADZHAB dalam ISLAM adalah AL-QUR'AN dan AS-SUNNAH (HADITS).

Dimasukkan juga oleh sebagian madzhab, yaitu ijma' dan qiyas. Ahli-ahli fiqih sendiri selalu mengatakan bahwa ijtihad itu tidaklah yakin kebenarannya, melainkan zhan, artinya boleh ditinjau kembali, "kalau sesuai dengan sumber aslinya (Al-Qur'an dan hadits) boleh diakui terus, dan kalau tidak haruslah segera ditinggalkan dan dibuang." Demikian pesanan dari pelopor-pelopor mujtahid yang terdahulu seperti Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Syafi'i, dan Imam Hanbali. Oleh karena itu, kalau orang ingin berlaku jujur dan benar-benar menghendaki pengupasan ilmiah, ia harus mengetahui atau mengemukakan bahwa dalam sumber hukum Islam yang benar-benar resmi (Al-Qur'an dan Hadits, ijma' dan qiyas).

PENDAPAT JUMHUR ULAMA

Sumber hukum Islam resmi ketiga, menurut sebagian besar ahli fiqih adalah ijma'. Arti yang populer adalah persamaan pendapat ulama dalam satu masalah, di dalam satu zaman. Ini pun boleh dijadikan sumber hukum resmi. Dalam peraturan ijma' itu pun dikatakan, meskipun hanya 1 orang yang membantah, dengan sendirinya ijma' itu gugur, dan tidak boleh lagi dijadikan hujjah atau hukum resmi!

(Buya HAMKA, 1001 Soal Kehidupan, Hal. 221-223, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

CINA BUTA (BANDOT PINJAMAN)

Dan siapa yang berpegang kepada hadits-hadits Nabi yang SHAHIH menurut MADZHAB SYAFI'I SEJATI, mereka tuduhlah orang itu "Berpacul dari Madzhab atau keluar dari Ahlus Sunnah wal Jamaah".

(Buya HAMKA, 1001 Soal Kehidupan, Hal. 217, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

IBNU KATSIR memberikan komentar dalam tafsirnya tentang imam-imam Bani Israil itu,

"Tetapi setelah ada dalam kalangan mereka yang mengganti-ganti, menukar-nukar dan menta'wilkan arti ayat suci dari maksudnya yang sebenarnya, dicabut Allah-lah maqam jadi imam itu, dan jadilah hati mereka kesat dan kasar, sampai berani mentahrifkan kata-kata dari tempatnya yang sebenarnya. Tidaklah lagi mereka mengamalkan yang SHAHIH, tidaklah lagi mereka beriktikad yang betul."

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 7 Hal. 136, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam." (al-Anbiyaa': 107).

Untuk itulah risalah ini ditulis yang seperti kita telah katakan sebelumnya:

Suatu ijtihad pula yang berdasar zhanni yang bisa berubah karena datang yang lebih benar.

Hanya satu yang tidak akan berubah selama-lamanya, yaitu kebenaran (al-haq).

(Buya HAMKA, ISLAM: REVOLUSI DAN IDEOLOGI, Hal. 171, Penerbit Gema Insani, Cet.1, Maret 2018).

Bernenek yang turun dari gunung Merapi,

Berkiblat ke Ka'batullah,

Berfikir yang dinamis,

Bersatu dalam Bhinneka Tunggal Ika.

HAMKA, 1970.

(James R. Rush, ADICERITA HAMKA: Visi Islam Sang Penulis Besar untuk Indonesia Modern, Hal. xxxiii, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Cet.1, 2017).

ISLAM UNTUK INDONESIA

Dengan mengandalkan sumber asli Islam, Al-Qur'an, bersama hadits SHAHIH dan penggunaan akal secara tertib, umat Islam Indonesia dapat menciptakan masyarakat yang BENAR-BENAR MODERN DAN ISLAMI.

Apa yang menghalangi jalan?

HAMKA biasanya menunjuk ke penghalang di dalam komunitas Muslim sendiri.

Banyak orang Indonesia tidak mengetahui ajaran Islam yang sejati.

Kemalasan dan kepicikan di kalangan ulama, dan kecenderungan umat mengikuti otoritas secara membuta, menghambat kemajuan.

Banyak di antara kita, kata HAMKA menggunakan gambaran kesukaannya, seperti Pak Turut.

Beberapa mempertahankan aturan agama berumur 700 Tahun tanpa kritis, yang ada sejak masa keemasan Baghdad dan Mesir, atau ajaran ulama yang ketinggalan zaman.

(James R. Rush, ADICERITA HAMKA: Visi Islam Sang Penulis Besar untuk Indonesia Modern, Hal. 121-122, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Cet.1, 2017).

ISLAM: REVOLUSI DAN IDEOLOGI

AGAMA ISLAM DALAM MEMBENTUK RIWAYATNYA

Maka jelaslah bahwasanya pokok-pokok ajaran Nabi Muhammad saw. yang lima yang kita terangkan di muka pasal tadi telah bertukar menjadi sebalikya.

Tauhid, mengesakan Tuhan, telah berganti dengan syirik, memperserikatkan Tuhan dengan yang lain.

Ukhuwah, persaudaraan, berganti dengan 'adawah (bermusuh-musuhan).

Yusr, kemudahan beragama, berganti dengan 'usr, kesukaran mengerjakan agama karena pengaruh ra'yu dan takwil ulama-ulama.

Sabda beliau saw. pula,

"Rajamu zalim, ulamamu jahat."

(Buya HAMKA, ISLAM: REVOLUSI DAN IDEOLOGI, Hal. 64-66, Penerbit Gema Insani, Cet.1, Maret 2018).

Dalam ketentuan ushul fiqih disebutkan,

"'Uruf berlaku sebagai penentuan keputusan, adat berlaku sebagai dasar hukum."

Arti ‘uruf dengan adat itu hampir sama, yaitu kebiasaan-kebiasaan, adat istiadat, atau adat yang teradat dalam suatu masyarakat atau suatu negeri. Maka selama 'uruf dan adat itu tidak berlanggaran dengan ketentuan hukum syari'at yang sharih (jelas), keduanya pun dapat dijadikan dasar hukum.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 9 Hal. 186, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

PERTANYAAN

Menurut ajaran Islam yang pernah saya terima, aurat perempuan adalah seluruh badan (tubuh), kecuali muka dan kedua telapak tangan.

Menurut penjelasan yang pernah saya terima dari seorang guru agama Islam di Jetis Yogyakarta bahwa seorang perempuan wajib menutup auratnya ketika melakukan shalat, sedangkan di luar shalat (waktu berada di jalan, di pertemuan, di sekolah) seorang perempuan boleh memakai rok (gaun, yurk).

Namun seorang ustadz di Tasikmalaya pernah menerangkan kepada saya bahwa kewajiban seorang perempuan menutup auratnya tidak hanya pada shalat saja, tetapi juga di luar shalat (di jalan, pertemuan, di sekolah) perempuan harus juga menutup aurat seluruhnya.

Berhubung dari kedua guru agama tersebut saya tidak memperoleh alasannya dari firman Allah dalam Al-Qur'an atau hadits shahih dan perjuangan Nabi Muhammad saw., bersama ini saya mohon penjelasan Bapak Prof. Dr. HAMKA dengan didasarkan Al-Qur'an dan hadits.

1. Sebenarnya kewajiban perempuan Islam menutup aurat apakah hanya ketika shalat dan di luar shalat boleh memakai pakaian yang lazim di negara itu (misalnya rok, gaun yang hanya sampai ke lutut, dan lengan baju sampai di siku saja ataukah kewajiban menutup aurat perempuan selain ketika shalat, juga di jalan, dalam pertemuan-pertemuan, di sekolah dan sebagainya, sehingga kalau di luar rumah yang tampak hanya muka dan kedua telapak tangannya.

2. Bagaimana pendapat Bapak perihal pakaian yang dikenakan oleh pelajar-pelajar putri di SD dan SMP atau SMA dan Universitas di Indonesia, di sekolah-sekolah menengah Islam (misalnya Muhammadiyah), kita melihat sebagian pelajar putri memakai kain dan kebaya serta makromah, tetapi sebagian lagi memakai rok (gaun). Di sekolah menengah negeri pada umumnya pelajar-pelajar putri mengenakan rok (gaun) seluruhnya. Saya pernah melihat majalah-majalah dari Kaherah dan Saudi Arabia dan di antaranya saya melihat foto-foto gadis gadis Arab (Islam) di kedua negara itu memakai rok. Bagaimana pandangan para ulama Mesir dan Saudi Arabia perihal perempuan mengenai rok sampai lutut dengan lengan baju sampai ke siku atau kurang?

3. Bagaimana tanggapan Bapak perihal yang tersebut di bawah ini. Di sekolah-sekolah negeri di Jakarta (SMP, SMA) umumnya pelajar-pelajar putri memakai rok atau gaun, tidak ada yang memakai kain, kebaya, dan makromah. Jika ada seorang putri yang insaf bahwa ia harus menutupi auratnya, tentu ia merasa malu karena tidak ada kawannya di sekolah itu yang mengenakan kain, kebaya, dan makromah atau mengenakan rok sampai kaki dan lengan baju sampai di pergelangan tangan. Walaupun dalam hatinya pelajar putri merasa berdosa karena tidak seluruh auratnya ditutup, ia tetap seperti kawan-kawannya yang lain yang tetap memakai rok atau gaun sampai lutut, malah kadang-kadang di atas lutut.

Atas jawaban Bapak terhadap pertanyaan saya di atas, saya menyampaikan banyak terima kasih.

Latifah binti Susilani

(Buya HAMKA, 1001 Soal Kehidupan, Hal. 154-156, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

BATAS AURAT PEREMPUAN (DI LUAR SHALAT)

Tentang aurat perempuan (di luar shalat), tidaklah sama pendapat ulama. Sebagian ulama berpendapat aurat seluruh badannya, kecuali muka dan kedua telapak tangan. Imam Syafi'i pernah menyatakan pendapatnya demikian. Abu Hanifah (Imam Hanafi) pada satu-satu riwayat, dan Imam Malik. Dalam satu riwayat lagi, Imam Hanafi pernah berkata bahwa kedua betis perempuan boleh terbuka. Sufyan Tsauri pun pernah menyatakan pendapat demikian. Satu riwayat dari Imam Hambali lebih ketat lagi, seluruh badan perempuan aurat, termasuk kedua telapak tangan, hanya muka saja yang boleh kelihatan.

Melihat berbagai macam pendapat ulama itu tidaklah kita heran jika di beberapa negeri Islam, perempuannya menutup seluruh badannya, bahkan menutup mukanya juga, walaupun di luar shalat.

Sebab ada juga ulama yang mengatakan, seluruh diri perempuan itu tidak boleh kelihatan, kecuali oleh mahramnya (yang tersebut dalam surah an-Nuur ayat 31) dan suaminya.

Mengapa ada ulama yang begitu ketat pendapatnya? Hal itu adalah karena menghindari fitnah yang akan timbul dari soal perempuan. Bagaimana penyelesaiannya?

1. Tentang di dalam shalat, sudah jelas bahwa seluruh badan, selain muka dan kedua telapak tangan hendaklah tertutup, termasuk kepala.

2. Di luar shalat, hendaklah perempuan berpakaian yang layak, sopan, tidak menarik nafsu syahwat laki-laki (menutup aurat).

Perhatikanlah kembali hadits pertama yang kita salin tadi, yaitu Asma masuk menghadap Rasulullah saw. memakai baju yang jarang, lalu Rasulullah memalingkan muka beliau tanda tidak suka pakaian seperti itu, sebab Asma sudah dewasa. Beliau katakan pula perempuan telah dewasa (telah sampai haid) tidaklah layak kelihatan tubuhnya, kecuali mukanya dan kedua telapak tangannya. (hadits dhaif, -pen).

(Buya HAMKA, 1001 Soal Kehidupan, Hal. 158-159, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

BOLEHKAH BERPANDUKAN DENGAN HADITS DHAIF?

Kalau sudah dijadikan anjuran kepada orang, tidaklah dapat hadits-hadits dhaif itu dijadikan dalil, atau hadits dhaif tidak boleh jadi hujjah.

(Buya HAMKA, 1001 Soal Kehidupan, Hal. 369, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

Di mana-mana, kebenaran hendaklah ditegakkan; berdasarkan nash yang shahih, jelas, dan tidak dapat diartikan lain; Qath'i (kata putus, sehingga tidak dapat dibantah lagi).

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar).

TABARRUJ

Di dalam Al-Qur'an surah al-Ahzaab (surah ke-33) ayat 33, "Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan (bertingkah laku) seperti orang-orang jahiliyah dahulu, dan laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan taatilah Allah dan Rasul-Nya ..." (al-Ahzaab: 33).

Di dalam ayat ini istri-istri Nabi dan sekalian perempuan beriman diperintahkan untuk hidup sopan, lebih banyak hidup di rumah kalau tidak perlu dan jangan suka bersolek mengekspos diri, yaitu pakaian-pakaian yang bisa membangkitkan nafsu jahat laki-laki yang jiwanya "sakit".

Itu sebabnya diperintahkan untuk menutup dada dengan selendang yang menutupi rambut sebab bidang dada itu sangat menarik mata laki-laki. Berjalan pun yang sopan, jangan genit. Bercakap pun yang tegas, jangan bergaya membangkitkan nafsu.

Malahan ada pula sebuah hadits Nabi yang shahih mengatakan bahwa di akhir zaman kelak akan terjadi perempuran "Kasiyatin", "Ariyatin" ia berpakaian, tetapi ia bertelanjang. Inilah tabarruj yang amat mencolok mata.

(Buya HAMKA, 1001 Soal Kehidupan, Hal. 159-160, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

BENTUK PAKAIAN

Sumber hukum agama Islam, baik Al-Qur'an maupun Sunnah Nabi atau pendapat ulama-ulama yang besar-besar tidak menunjukkan bentuk apa yang mesti dipakai.

Apakah rok atau kain batik sebab bentuk pakaian itu telah termasuk kebudayaan. Rok cara Barat itu banyak yang sopan, menutup aurat, dipakai oleh perempuan yang berkesopanan tinggi, seperti pakaian Ratu Inggris.

Ada pula rok yang tabarruj, seperti rok mini, you can see, paha sebagian besar terbuka, dada sebagian besar terekspos, punggung sebagian besar terpampang yang maksudnya itu tidak lain adalah untuk menarik nafsu laki-laki, itulah kegilaan model.

Pakaian asli kita pun ada yang sopan. Kaum Aisyiyah di Jawa, pakaian Ibu Rahmah El-Yunusiyah di Sumatera, kudung, dan mukena. Ibu-ibu Muslimat banyak yang sopan sebab hati dan pemakaiannya pun dipenuhi iman dan kesopanan. Ada baju cara Sunda dan Jawa, baju kurung cara Minang (di Jawa dinamakan Minangan), dan ada kebaya panjang cara Medan. Semuanya sopan karena beriman pemakaiannya.

Namun, ada pula pakaian itu yang tabarruj, kebaya pendek disimbahkan dadanya sedikit karena dengan sengaja hendak memperlihatkan bagian dada, apalagi ketika dibawa menekur. Ada baju kurung Minang yang dibuat agak sempit, sehingga bentuk tubuh berjuluran ke sana-sini. Ada kebaya panjang cara Medan yang disingkatkan lengan dan dibuat agak lapang, supaya laki-laki tertarik melihat halus lengannya. Tindakan yang seperti ini adalah tabarruj, mengandung maksud yang tidak jujur. Semua yang buruk kini kejadian karena orang terpengaruh oleh falsafah Sigmund Freud, bahwa kegiatan hidup di dunia ini adalah karena dorongan Libido, yaitu seks antara lelaki dan perempuan.

Adapun mengenai pertanyaan Ananda perihal murid-murid sekolah Muhammadiyah yang sebagian memakai kain dan makromah, dan yang lain memakai rok (gaun), dan di sekolah-sekolah negeri pada umumnya pelajar-pelajar putri hanya memakai rok, dengan ini Bapak berikan dua jawaban:

1. Saya pun melihat sekolah-sekolah Muhammadiyah di beberapa tempat dua macam pakaian pelajar.

Pakaian yang berkain, berkebaya dan makromah.

Pakaian yang berok dan gaun.

Sekolah Muhammadiyah itu pun terdiri dari dua corak, karena pengaruh bentuk masyarakat yang ditempati.

Sekolah-sekolah yang meniru sekolah negeri, anak-anak pelajarnya memakai rok (gaun) dan sekolah-sekolah yang bersifat madrasah yang bernama Ibtidaiyah, Aliyah, dan sebagainya pelajarnya memakai kebaya, kain, dan makromah.

Perbedaan kedua bentuk pakaian itu tidaklah ada ketentuan dari agama, sebagaimana telah saya katakan di atas.

Saya pun melihat rok atau gaun yang sopan seperti yang dipakai oleh Ratu Inggris dan Ratu Yuliana ketika beliau ziarah ke Indonesia, dan saya pun banyak melihat kebaya yang sengaja dibikin hingga bagian dada dipamerkan.

Rok Ratu Inggris dan Ratu Yuliana yang begitu tidak terlarang dalam Islam, sedangkan kebaya yang memamerkan bagian dada itu tercela oleh Islam.

Tentang pertanyaan Ananda, bagaimana pikiran Bapak tentang apa yang Ananda lihat foto-foto di majalah-majalah, ada gadis-gadis Mesir dan Saudi Arabia memakai rok, susahlah Bapak menjawabnya, Sebab Bapak pun pernah melihat dengan mata kepala sendiri gadis, gadis Islam di Mesir, Saudi Arabia, Pakistan, Beirut, Damaskus, Irak (Baghdad), ada pula yang memakai rok (gaun) dengan sopan.

Malahan di Amerika, perempuan dari golongan-golongan Islam Negro (Black Muslim) seperti istri Muhammad Ali jago tinju, memakai pakaian yang tidak melanggar peraturan Islam.

Namun, di foto-foto pernah pula Bapak lihat bahwa di Mesir itu ada perempuan penari perut (striptease).

Sekarang Bapak pula bertanya padamu, "Manakah yang akan kita contoh, yang baik atau yang buruk?"

Sebagai orang Islam yang baik dan sadar akan harga diri dan harga bangsa, tidaklah perlu kita mengambil contoh pakaian orang di negeri lain, tetapi hukum agama diambil dari sumber Islam, yang kitab-kitabnya (Al-Qur'an dan al-Hadits) bisa kita baca sendiri di sini.

Sebaiknya, kita berusaha untuk mengamalkan perintah agama kita, bukan meniru-niru yang tidak sesuai dengan agama dari negeri lain. Bahkan beberapa contoh perbuatan kita menurut ajaran Islam telah dikagumi dan dicontoh oleh negeri-negeri Islam lainnya itu. Misalnya, di negeri-negeri Islam termasuk Saudi Arabia dan Mesir sekitar 10 Tahun yang lalu belum ada sekolah-sekolah untuk anak-anak perempuan. Itu mulai diadakan karena meniru kepada Indonesia.

(Buya HAMKA, 1001 Soal Kehidupan, Hal. 160-162, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

PENUTUP

Dari keterangan yang Bapak berikan ini, dapatlah Ananda mengambil kesimpulan bahwa di dalam Al-Qur'an ataupun al-Hadits tidaklah ada sesuatu petunjuk bagaimana bentuk pakaian karena bentuk pakaian adalah termasuk kebudayaan atau kebiasaan suatu bangsa menurut iklim negerinya, dipengaruhi oleh perubahan ruang dan waktu.

Tidak ada ketentuan mesti memakai kebaya ataupun baju kurung (minangan), dan tidak pula larangan memakai gaun atau rok, yang ditentukan oleh agama dengan pasti hendaklah Sopan (menutup aurat), jangan tabarruj.

Hal yang membuat orang jadi gila sekarang adalah bahwa pakaian tidak lagi ditentukan oleh kesukaan orang yang hendak memakainya, melainkan ditentukan oleh perancang model di Paris, London, Hollywood, New York, dan sebagainya. Umumnya tentang kesopanan menurut agama, baik Islam maupun Kristen, tidaklah dipertimbangkan lagi. Hal yang dipertimbangkan umumnya adalah yang menarik (menarik mata laki-laki supaya tergila-gila) dan model itu pun sangat bergantung kepada nafsu mencari uang dari tukang-tukang jahit pakaian.

Sebentar-sebentar berubah, mulanya mini, maka terbukalah paha sampai terbuka pula pinggul. Bosan dengan itu pindah ke maksi (mazi), rok dan gaun jadi lebih dalam, sampai menyapu jalan. Lalu, midi, lain pula bentuknya, lalu hotpant supaya panas gelisah laki-laki yang melihatnya. Akhir-akhir ini pindah kepada pakaian laki-laki untuk perempuan. Bercelana pantalon seperti laki-laki dan berkemeja seperti laki-laki. Sebentar apalagi? Perempuan bisa kehilangan pribadi, hanyut dalam gelombang model. Kalau kaya banyak uang, tidak mengapa. Kalau yang tidak ada, niscaya akan diusahakan walaupun dengan jalan yang tidak halal!

Orang-orang yang masih ada rasa agama, tetapi lemah mencari alasan, membelok-belok ayat, atau memutar-mutarkan artinya agar modelnya itu dapat diakui sah oleh agama, padahal hati kecilnya tidak akan merasa puas dengan itu.

Akhir kalam, sebagai seorang yang dipandang oleh masyarakat Islam sebagai tempat bertanya dalam perihal agama, dengan ini Bapak menyatakan bahwa Bapak tidaklah anti rok dan gaun, dan tidak pula mempertahankan kebaya dan kain mati-matian.

Bapak mengerti perubahan zaman. Namun agama Islam tidaklah berubah. Dia tetap pada prinsipnya "jagalah Kesopanan", dan janganlah Tabarruj! Janganlah perempuan berpakaian kasyayatin, ariyatin, berpakaian tetapi sama dengan yang demikian itu hanyalah akan membawa masyarakat bangsa kita di dalam jurang kehancuran moral dan mental belaka.

Sekian jawaban Bapak. Bapak berikan agak panjang supaya berfaedah juga bagi yang lain.

(Buya HAMKA, 1001 Soal Kehidupan, Hal. 163-165, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

PEREMPUAN ITU SENDIRI ADALAH AURAT

Di ayat 33 surah al-Ahzaab, meskipun teralamat khusus kepada istri-istri Nabi, dengan sendirinya tiap-tiap perempuan yang beriman terkena oleh seruan itu. Sebab perempuan lain jika bertakwa tidak juga sama dengan perempuan kebanyakan. Diingatkan pula dalam ayat ini jika berbicara jangan lemah gemulai. Ucapan orang Jakarta tepat sekali untuk bercakap lemah gemulai itu, yaitu "genit". Namun, bercakaplah yang tegas sekadar perlu. Di ayat ini juga disebutkan sebab-sebab dilarang. Laki-laki yang sakit, mau saja meremas perempuan yang genit itu. Jangan tabarruj secara jahiliyah. Tabarruj yaitu berhias yang mencolok mata. Menampakkan bentuk-bentuk badan, mendedahkan dada, menggoyangkan pinggul, mengerdipkan mata, dan sebagainya.

Bahkan berlakulah yang sopan. Berlakulah menurut patutnya seorang perempuan yang beriman dan bertakwa.

Ananda menanyakan tentang batas aurat perempuan,

"Sampai batas-batas manakah seorang perempuan muslim harus berpakaian?"

Oleh karena Ananda yang bertanya tampaknya memang seorang perempuan Muslimat yang ingin mengikuti Nabi saw., ingatlah sebuah hadits yang dirawikan oleh at-Tirmidzi,

"Perempuan itu sendiri adalah aurat. Bila ia telah keluar, Setan terus mendekatinya. Tempat yang paling dekat untuknya dalam perlindungannya adalah terang-terang di bawah atap rumahnya."

Oleh sebab itu kalau tidak perlu benar, janganlah keluar. Misalnya pergi belajar.

Pergi ke Masjid tidaklah dilarang. Namun, shalat di rumah adalah lebih afdhal.

Bersabda Nabi saw.,

"Shalat perempuan dalam kamarnya lebih afdhal baginya daripada shalat di dalam rumahnya, dan shalat di dalam rumahnya lebih afdhal baginya daripada shalat di pekarangannya." (HR. Abu Dawud).

Musa bin Yasar menceritakan bahwa pada suatu hari Abu Hurairah, sahabat Rasulullah saw., melihat seorang perempuan lewat di hadapannya dan terbau wangi-wangian dari perempuan itu. Lalu Abu Hurairah bertanya, "Engkau hendak ke mana, hai hamba perempuan Allah?"

Perempuan itu menjawab, "Aku hendak ke masjid."

Lalu beliau bertanya, "Kau memakai wangi-wangian ke masjid?"

Perempuan itu menjawab, "Benar."

Berkatalah Abu Hurairah, "Lebih baik kau pulang kembali dan sampai di rumah segera kau mandi. Karena Rasulullah saw. pernah bersabda, "Tidaklah diterima Allah shalat seorang perempuan yang pergi ke masjid dengan wangi-wangian berbau dirinya, sebelum ia pulang kembali dan mandi." (HR. Ibnu Khuzaimah).

Oleh karena itu, ke masjid tidak dilarang, tetapi lebih baik shalat di rumah saja. Kalau hendak ke masjid, janganlah berhias-hias berwangi-wangi.

Ada sebuah hadits Nabi lagi. Barangkali sudah bertemu sekarang atau belum dapatlah kiranya Ananda A di Surabaya atau perempuan yang lain mencari-cari, barangkali sudah ada, Dari Abu Hurairah r.a., berkata ia, Berkata Rasulullah saw.,

"Ada dua macam akan jadi neraka kelak, tetapi sekarang aku belum melihatnya; (1). Satu kaum yang memegang cambuk (cemeti) seperti ekor lembu yang mereka pergunakan untuk memukuli manusia. (2). Perempuan-perempuan yang berpakaian bertelanjang, melenggang-lenggok menarik perhatian. Kepala mereka serupa dengan punggung unta tertonjol; mereka pun tidak akan masuk surga, dan tidaklah mereka akan mencium bau surga itu, bahkan baru akan mereka cium dalam jarak sekian jauh." (HR. Ibnu Khuzaimah).

Tentu timbullah pertanyaan,

"Apakah perempuan hanya lebih baik tinggal di rumah saja?"

Untuk menjawab pertanyaan ini, teringatlah kita akan sebuah hadits yang dirawikan oleh al-Bazaar dari Tsabit al-Banany, dari Anas bin Malik, khadam Rasulullah saw. bahwa beberapa perempuan datang menghadap Nabi saw. lalu mengemukakan pertanyaan.

"Ya Rasulullah. Kaum laki-laki telah pergi berjuang menuntut keutamaan dengan jihad di jalan Allah. Tunjukkan kiranya kepada kami, apa yang dapat kami kerjakan supaya kami pun mendapat pahala sebagai jihad fi sabilillah pula?"

Rasulullah meniawab,

"Barangsiapa di antara kamu yang duduk di dalam rumahnya, ia akan mendapat pula pahala sebagaimana yang didapat oleh orang yang berjihad fi sabilillah."

Tentu saja arti duduk di rumah itu adalah menurut sabda Nabi yang terkenal juga,

"Dan perempuan adalah penggembala di dalam rumah tangga suaminya, dan ia pun bertanggung jawab atas penggembalaannya itu." (HR. Bukhari Muslim).

Tegasnya, tidaklah akan berjaya perjuangan seorang suami di medan hidup yang mana saja, kalau rumah tangga, menjaga harta benda dan anak-anak tidak dibentengi oleh sang istri yang setia.

Memang peraturan yang ditentukan oleh Rasulullah saw. tentang perempuan lebih afdhal duduk di rumah ini, sangat tidak sesuai dengan kehidupan modern, terutama di tanah air kita yang mulai meniru segala gerak-gerik Barat.

Kalau dalam jiwa kita masih ada sisa iman, niscaya akan kita katakan bahwa peraturan dari Nabi itu tetap peraturan zaman modern.

Kalau iman kita lemah tentu kita katakan bahwa kita masih belum kuat meneladani peraturan Nabi, tetapi kita mengakui bahwa aturan Nabi itulah yang lebih baik.

Namun, kalau Islam kita hanya tinggal nama, niscaya kita katakan bahwa peraturan dari Nabi itu tidak betul, yang betul adalah peraturan Barat.

Dari ayat 31 surah an-Nuur dan 33 surah al-Ahzaab yang kita salin tadi diberikanlah patokan dasar yang akan jadi pedoman bagi seorang perempuan yang beriman kepada Allah dan Rasul.

Demikianlah juga hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah tentang kasiyatin ariyatin yang berpakaian tetapi bertelanjang itu.

Kesimpulannya adalah bahwa perempuan yang beriman tidaklah membuat pakaian atau cara berpakaian yang meniru perempuan jahiliyah; ia berpakaian tetapi bertelanjang.

Namun, agama tidaklah menunjukkan mode, atau guntingan pakaian itu. Tidak tertentu apakah pakaian itu cara Barat atau cara Timur, cara Arab atau cara Indonesia, cara Pakistan atau cara Cina. Tidak ada larangan memakai sari, tidak ada larangan memakai batik, atau memakai rok, asal jangan melenggang cara jahiliyah, berpakaian tetapi sama dengan bertelanjang.

Semata-mata perempuan bercelana, tidaklah terlarang. Lihatlah satu macam pakaian perempuan Islam Pakistan, yaitu memakai baju dan celana. Namun orang tahu bahwa yang dipakainya itu adalah celana perempuan, bukan celana laki-laki, padahal ia perempuan, atau laki-Iaki memakai pakaian perempuan, itu memang dilarang oleh Nabi saw., Dari Ibnu Abbas r.a. berkata,

"Rasulullah mengutuk laki-laki yang meniru-niru perempuan dan perempuan yang meniru-niru laki-laki." (HR. Bukhari, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa'i, Ibnu Majah, dan ath-Thabrani).

Sabda beliau pula, Dari Abi Umamah r.a.,

Adalah empat macam yang dikutuk Allah di dunia dan di akhirat, dan diaminkan oleh malaikat.

(1). Seorang laki-laki yang telah ditentukan Allah jadi laki-laki lalu dibuatnya dirinya jadi perempuan (menyerupai perempuan); (2). Dan seorang perempuan, yang telah ditakdirkan Allah jadi perempuan, lalu dibuatnya dirinya menyerupai laki-laki; (3). Dan orang yang menyesatkan orang buta; (4). Dan laki-laki yang tidak mau berkawin, padahal yang dijadikan Allah, laki-laki yang tidak kawin hanyalah Nabi Yahya anak Zakaria." (HR. ath-Thabrani).

Demikian kita jawab beberapa pertanyaan yang dikemukakan oleh seorang perempuan di Surabaya yang meminta agar namanya yang terang jangan ditulis, sedangkan alamatnya ada pada kita.

Sudah pasti bahwa banyak perempuan tidak senang atas jawaban ini karena banyak yang tidak sesuai dengan gerakan "Hak-Hak Perempuan" atau Women Emancipatie, cara Barat di negeri kita sekarang.

Namun, jika mereka tidak senang, bukanlah berarti bahwa apa yang diatur oleh Nabi saw. itu suatu kesalahan yang tidak boleh disiarkan.

(Buya HAMKA, 1001 Soal Kehidupan, Hal. 167-172, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

Kalau kita masih ragu, menyangka ada jalan lain selain jalan Muhammad saw. yang kita anggap benar, batal-lah Islam kita.

(Buya HAMKA, Dari Hati Ke Hati, Hal. 121, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

TUTUR NABI IALAH WAHYU

"Dan kalau dia mengatakan di atas nama Kami sebagian dari kata-kata, sungguh akan Kami tarik daripadanya dengan tangan kanan; kemudian itu sungguh Kami potong daripadanya tali jantungnya." (al-Haaqqah: 44-46).

Maksudnya ialah Nabi Muhammad saw. sekali-kali tidak boleh bercakap dengan sebagian perkataan semau-maunya saja, tidak berdasar kepada wahyu yang dia terima dari Allah maka dia akan ditarik dengan tangan kanan Allah.

Taat kepada Allah saja, dengan meninggalkan Rasul, sama artinya dengan kafir,

"Dan barangsiapa yang durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya maka bagi mereka adalah api neraka Jahannam, kekal mereka di dalamnya selama-lamanya." (al-Jinn: 23).

Orang yang kekal di neraka itu ialah orang yang kafir.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 8 Hal. 534-535, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Tiap-tiap orang yang beriman itu adalah dia Islam, tetapi tidaklah tiap-tiap orang Islam itu beriman." (Syeikhul Islam IBNU TAIMIYAH).

IMAN ADALAH KELANJUTAN DARI ISLAM. Perbedaan di antara Islam dengan iman, bahwa Islam barulah semata-mata pengakuan, sedang iman sudah termasuk pelaksanaan.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 7 Hal. 211-213, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Janganlah sampai kita laksana orang yang malas shalat lalu memotong satu ayat, "Janganlah kamu mendekati shalat sedang kamu mabuk." Lalu dihapuskan, "sedang kamu mabuk."

Atau mengambil pangkal ayat, "Celaka besarlah orang yang shalat." (al-Maa'uun: 4). Lalu, ditinggalkan lanjutannya, "(Yaitu) orang-orang yang melupakan maksud shalatnya." (al-Maa'uun: 5).

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 186, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Di Hyde Park di London, biasa saja berzina di atas bangku-bangku tempat duduk. Polisi susila akan berjalan lambat-lambat supaya orang yang sedang berbuat perkara itu ada kesempatan mengenakan pakaian sebelum ia datang.

Padahal Isa al-Masih mengajarkan bahwasanya, jika matamu memandang dengan nafsu syahwat kepada perempuan yang bukan istrimu, patutlah cungkil saja matamu itu.

(Buya HAMKA, 1001 Soal Kehidupan, Hal. 109, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

Tersebut di dalam kitab lama larangan berzina dan hukuman rajam bagi siapa yang melakukannya maka al-Masih mengajarkan bahwasanya tertarik melihat wajah perempuan saja, sudahlah zina.

Beliau suruh korek mata yang bersalah itu.

"Masih lebih ringan buta mata, daripada seluruh badan masuk Jahannam. Jika tangan telanjur, potong tangan itu. Belum berapa terpotong tangan sebelah, daripada seluruh badan masuk berakal!"

Inilah rahasia ajaran al-Masih, menurut keadaan lingkungan dan zamannya.

(Buya HAMKA, ISLAM: REVOLUSI DAN IDEOLOGI, Hal. 121-122, Penerbit Gema Insani, Cet.1, Maret 2018).

PERTUKARAN PIKIRAN YANG DAHSYAT DI ANTARA ULAMA MUHAMMADIYAH

Tahun 1930 terjadi pertukaran pikiran yang dahsyat di antara ulama Muhammadiyah KH. Mas Mansur dan guru dan ayah saya, Syekh Dr. Abdul Karim Amrullah, dalam soal perempuan berpidato di hadapan majelis umum yang dihadiri oleh banyak kaum laki-laki.

Ayahku mulanya berpendapat "haram" perempuan berpidato di hadapan laki-laki.

KH. Mas Mansur mengakui bahwa memang bisa timbul mudharat bagi laki-laki bila melihat perempuan naik mimbar (bukan isi pembicaraan perempuan itu yang didengarnya, tetapi kecantikan wajah perempuan itu yang diperhatikannya).

Akhirnya mereka sependapat bahwa hukumnya makruh.

Akhirnya pidato itu ditiadakan.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 601-603, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

DISURUH TOBAT

"Dan tobatlah kamu sekaliannya kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beroleh kejayaan." (ujung ayat 31).

Disuruh tobat, karena selama laki-laki masih laki-laki dan perempuan masih perempuan, selama burung di dahan dan binatang di hutan masih berkelamin jantan dan betina, selamanya itu pula manusia tidak akan terlepas dari rayuannya.

Jaranglah hati laki-laki yang tidak tergetar melihat perempuan cantik.

Jaranglah perempuan yang tidak terpesona melihat laki-laki gagah tampan (ganteng kata orang Jakarta).

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 6 Hal. 291-297, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

JIKA KELIHATAN SESUATU YANG JANGGAL

Jika kelihatan sesuatu yang janggal, bukanlah karena salah agama.

Hanya membaca matan-matan kitab yang beku, tidak dituntun oleh ilmu pengetahuan agama yang sejati, yang bernama Ruhusy Syari'ah.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 433, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

BOHONG DAN SERBA-SERBI BENTUKNYA

Memotong-motong kebenaran, misalnya mengambil awal pangkalnya saja dan meninggalkan akhir ujungnya, atau sebaliknya. Dengan demikian, rusak maksud suatu perkataan.

Dalam Al-Qur'an banyak perkataan, apabila dipotong, menjadi rusaklah maksudnya seperti contoh ayat, "Maka celakalah orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai terhadap shalatnya." (al-Maa'uun: 4-5). "Janganlah kamu mendekati shalat, ketika kamu dalam keadaan mabuk, sampai kamu sadar apa yang kamu ucapkan." (an-Nisaa': 43).

Dalam berpolemik, cara orang-orang yang memotong-motong inilah yang sangat berbahaya.

Tujuan seseorang yang awalnya baik dan maksud isinya suci, karena dipolemikkan, menjadi kacau-balau karena kesalahan lawannya yang memotong itu.

(Buya HAMKA, Bohong Di Dunia, Hal. 9-10, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2017).

BATAS AURAT LAKI-LAKI

DALIL HUJJAH RIWAYAT YANG KUAT

Paha Lelaki Bukan Aurat (Madzhab Maliki, Imam Bukhari) - Dr. Rozaimi

youtu.be/n3HkyOtMtsE

Seseorang lalu berkata kepadanya, "Kenapa kamu shalat dengan menggunakan satu kain!" Jabir bin Samurah menjawab, "Aku lakukan itu agar bisa dilihat oleh orang bodoh seperti kamu. Sebab mana ada pada masa Nabi saw., di antara kami yang memiliki dua kain!" (HR. Bukhari No. 339).

BATAS-BATAS AURAT

Ilmu fiqih telah memberi keterangan tentang batas-batas aurat.

Ada hadits yang mengatakan bahwa aurat (Laki-laki, Budak Muslimah, -pen) atau yang wajib ditutup ketika mengerjakan shalat ialah yang di antara pusat dan lutut.

Ada pula hadits mengatakan bahwa aurat ialah sau aatani, artinya dua kemaluan; qubul dan dubur (pelepasan muka dan belakang), yang disebut juga sabilaini, artinya dua jalan.

Kalau kita hanya berpegang kepada kedua hadits itu saja, dan telah diberi ketentuannya oleh ilmu fiqih, niscaya sah jugalah shalat kita kalau kita terpaksa karena tidak ada kain karena miskin hanya sekadar memakai celana kolor yang menutup di antara pusat dan lutut; atau sekadar kedua kemaluan itu saja.

Namun, di dalam ayat ini kita sudah disuruh berhias kalau sudah hendak shalat.

Lantaran itu berusahalah kita agar kalau kita shalat, janganlah sampai hanya menutup kedua kemaluan saja.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 402, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Setengah ahli fiqih menyatakan pendapat bahwasanya seorang yang tidak ada pakaian buat shalat sehingga boleh dikatakan bertelanjang, tidaklah wajib atasnya meminjam pakaian orang lain buat shalat. Daripada meminjam, tidaklah mengapa dia shalat bertelanjang.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 357, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Apabila di antara mereka mempunyai pakaian yang terkena najis, mereka tidak boleh shalat dengan pakaian tersebut.

Mereka cukup mengerjakan shalat dengan telanjang.

-Dalam kasus ini, Imam Asy-Syafi'i tidak memberi penjelasan secara lengkap apakah saat itu ada air yang dapat digunakan untuk menyucikan pakaian dari najis atau tidak. Tentu masalah ini menjadi perdebatan.

(Fatwa-Fatwa Imam Asy-Syafi'i, Hal. 63, Penerbit Amzah, Ed.1 Cet.2, 2015).

Madzhab Maliki dan Madzhab Hanbali juga berpendapat apabila seseorang yang tidak mempunyai pakaian sama sekali untuk menutup aurat, maka ia boleh shalat dalam keadaan telanjang.

(Fiqih 4 Madzhab, Hal. 87 Penerbit Al-Makmur, Cet.1, 2015).

PURITAN, SALAFIS DAN PROGRESIF DI MUHAMMADIYAH

Orang puritan di Muhammadiyah memiliki model keberagaman yang unik.

PURITAN

Kelompok puritan beranggapan bahwa perempuan harus aktif di publik, tapi tempat mereka harus dipisahkan dari laki-laki.

Jilbab bagi perempuan bukanlah sesuatu yang wajib, tapi dianjurkan oleh agama.

SALAFIS

Kelompok kedua adalah salafis. Orang salafi percaya bahwa tempat ideal perempuan adalah di rumah. Kalau terpaksa mereka harus ke luar rumah, seperti sekolah, maka perempuan harus dipisahkan dari laki-laki.

Konsekuensi lain dari pandangan ini, hukum pemakaian jilbab adalah wajib.

PROGRESIF

Berhadapan dengan salafi, adalah kalangan progresif. Kelompok ini penganjur agar perempuan aktif di publik dengan tanpa ada pemisahan dari laki-laki,

Menganggap jilbab sebagai bagian dari budaya Arab yang tidak wajib ditiru.

(Ahmad Najib Burhani, MUHAMMADIYAH BERKEMAJUAN: Pergeseran dari Puritanisme ke Kosmopolitanisme, Hal. 65-66, Penerbit Mizan, Cet.1, 2016).

SOAL ITU-ITU LAGI

Suatu kali saya bertemu dengan seorang Perempuan Islam terkemuka.

Ia bertanya kepada saya,

"Bagaimana hukum yang sebenarnya memakai Kerudung? Bukankah itu hanya sunnah saja?"

Lalu saya jawab,

"Lebih baik berkerudung saja, sebab tanda seorang Muslimah bukanlah membincangkan hukum sunnah dan wajib saja. Apa yang diperintahkan Allah SWT harus kita usahakan mengerjakannya."

Bertemu sekali lagi ia masih bertanya. Bertemu lagi, dan ia menanyakan soal itu-itu lagi,

Kemudian saya menjawab,

"Apa gunanya bertanya lagi?

Kalau sudah bosan, lepaskan saja Kerudung itu.

Siapa yang berani melarang?

Bukankah sekarang sudah zaman modern?"

Nyonya itu terdiam.

(Buya HAMKA, Ghirah: Cemburu karena Allah, Hal. 13, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

SUATU PERMISALAN DALAM CARA MENGEMUKAKAN

Pada hari Kamis malam Jum'at tanggal 30 malam 31 Maret 1978, dalam TVRI Jakarta pada Ruangan Dunia dalam Berita dipertunjukkan suatu show busana, yaitu perempuan-perempuan muda yang cantik ke luar dengan pakaian yang indah, bagus, dan menarik, tetapi yang layak dipakai oleh perempuan Islam.

Pakaian yang mereka pakai itu memang indah, cantik, menarik hati, dan terutama sopan.

Pakaian sehari-hari, pakaian pergi shalat, pakaian yang pantas untuk perempuan yang telah jadi haji (hajjah).

Pertunjukkan pakaian seperti ini pun kalau disadari, tidaklah lepas dari lingkaran dakwah, mungkin lebih positif hasilnya daripada seorang mubaligh yang di dalam satu tabligh besar dengan agitasi yang gagah perkasa, mencela, menyindir dan mengharamkan pakaian-pakaian perempuan modern zaman sekarang.

Dengan mencela dan memaki, hati orang jadi sakit. Bahkan kadang-kadang didemonstrasikan perlawanannya itu.

Padahal dengan mengadakan anjuran peragaan memakai pakaian yang sesuai dengan ajaran agama, timbullah inisiatif mereka membuat yang indah. Dengan dasar sekali-kali tidak boleh kita lupakan, yaitu bahwa menyukai pakaian yang bagus, cantik, dan menarik adalah kesukaan dari tiap-tiap perempuan.

Saya teringat sekitar Tahun 1927-1930 ketika gerakan Muhammadiyah/Aisyiah mulai menjalar merata di seluruh Indonesia.

Pakaian perempuan di seluruh tanah air Indonesia berlain-lain coraknya.

Tanah Lebong (Bengkulu) menggunakan kepala tertutup kain merah, dada terbuka lebar, lalu memakai beronang, yaitu keranjang besar di punggung, ditalikan ke sebelah kening dan dipikul. Daerah Bugis dan Makassar, masih memakai baju bodo yang sangat tipis dan jarang sehingga kelihatan kutang penutup payudara. Memakai pula celana pendek atau rok pendek dan ujung kain sarung yang terdiri dari kain sutra halus itu, dipegang dengan jari yang menyebabkan paha jelas kelihatan. Bermacam-macam pula ragam yang lain di daerah-daerah lain di Indonesia.

Muhammadiyah dan Aisyiah waktu itu tidak mencela haram, berdosa, masuk neraka, pakaian yang beragam itu.

Aisyiah hanya membuat mode pakaian yang baru, cantik, manis, dan menarik.

Mereka kenakan pakaian ini dengan kudung (di Padang dinamai mudawarah, di Jawa dinamai mukena). Pakaian begini menjadi pakaian perempuan-perempuan yang masuk Aisyiah sejak dari Sabang sampai Merauke karena memang di Sabang dan di Merauke pada waktu itu (1930) telah ada cabang Muhammadiyah dan Aisyiah. Meratalah anjuran Muhammadiyah itu di seluruh tanah air waktu itu terutama setelah 2 orang pemuka perempuan Islam, Rahmah El Yunusiyah dan Rasuna Said sampai akhir hayatnya memakai pakaian yang tidak mengurangi kecantikan itu.

Oleh sebab itu, dakwah hendaklah selalu jadi gerakan yang hidup.

(Buya HAMKA, PRINSIP DAN KEBIJAKSANAAN DAKWAH ISLAM, Hal. 37-39, Penerbit Gema Insani, Cet.1, Maret 2018).

"Orang yang pakai jilbab itu adalah sebaik-baiknya muslimah. Tapi yang tidak pakai jilbab jangan dibilang enggak baik." (MOHAMMAD NATSIR).

PERNYATAAN itu datang dari Mohammad Natsir Pejuang Islam yang gigih itu menyampaikan pandangannya tentang jilbab kepada sejumlah pelajar yang datang ke kantor Dewan Dakwah pada awal 1980-an.

Ketika itu pemerintah melarang murid mengenakan jilbab di sekolah. Sejumlah pelajar menentang aturan itu dan berujung ke pengadilan. Yusril Ihza Mahendra, yang dijuluki Natsir Muda, menjadi pembelanya.

"Mereka berkeras soal jilbab. Kalau tidak berjilbab dianggap tidak baik", Yusril berkisah kepada Tempo.

Natsir pun menegur para pelajar yang dinilainya cenderung meremehkan orang Islam tak berjilbab.

"Saya tidak melihat manusia dari jilbab", kata Natsir seperti dituturkan Yusril.

Natsir, sang pejuang. Dia dikenal sebagai pendidik yang keras, tapi moderat dan demokratis dalam menerapkan ajaran Islam.

Dia tidak mewajibkan jilbab kepada istri dan anak-anaknya.

Nur Nahar seperti laiknya orang Melayu dan umumnya warga Masyumi.

Sehari-hari dia tampil berkebaya panjang atau baju kurung tanpa kerudung.

Ketika menghadiri acara keluarga atau melayat, Natsir baru mengingatkan Nur Nahar agar berkerudung. Mengingatkan pun, menurut Lies tidak dalam bentuk perintah. Aba cukup berkata, "Kamu kan muslimah." Kalimat pendek ini langsung dipahami keempat anak perempuan Natsir.

Dalam berpakaian, Natsir hanya mengharuskan anak-anaknya berbusana santun.

Itu artinya, tidak bercelana pendek dan berbaju you can see alias baju tak berlengan.

Satu kali, Lies mengenakan blus pendek tanpa lengan. Aba tak menegur langsung. Dia hanya berpesan kepada Ummi, "Beritahu Lies jangan pakai yang kependekan."

Masih soal pakaian, ada kenangan yang berkesan bagi Anies, putri Lies, cucu pertama Natsir.

Satu kali, sepulang kuliah, Anies mampir ke rumah kakeknya di Jalan Cokroaminoto.

Dia datang mengenakan rok mini yang sedang jadi mode.

Tatkala hendak pulang, Natsir memberinya uang sambil berkata, "Ini untuk beli celana panjang."

Teguran halus.

Sekalipun keempat putrinya telah menunaikan ibadah haji, Natsir tak memaksa mereka mengenakan jilbab.

(NATSIR, Politik Santun Di Antara Dua Rezim, Hal. 139-141, Tempo Publishing - Gramedia, Cet.1, Juli 2017).

HIJAB DAN MUSLIMAH DI HADAPAN LAKI-LAKI

Sebelum Perang Dunia II, ulama-ulama Muhammadiyah (anggota laki-laki) dengan Aisyiah (anggota perempuan), hendaklah memakai tabir pembatas.

Apakah sebabnya ulama tarjih memutuskan demikian? Adakah perintah yang jelas (nash yang sharih) mewajibkan di dalam Al-Qur'an dan Hadits?

Yang mewajibkan bertabir itu tidak ada untuk satu musyawarah.

Yang ada hanyalah jika seorang laki-laki hendak bercakap-cakap dengan istri-istri Rasulullah hendaklah dari balik tabir. (Lihat surah al-Ahzaab, ayat 53).

Sebab itu nash yang sharih di ayat ini hanyalah kalau seorang Mukmin hendak menanyakan sesuatu kepada istri-istri Rasulullah hendaklah dari balik hijab (tabir).

Tidak ada dalam ayat ini yang dapat diambil keterangan buat mewajibkan memasang tabir kalau ada pertemuan orang banyak di antara laki-laki beriman dengan perempuan-perempuan yang beriman.

Tetapi tuntunan jika ada pertemuan bersama laki-laki dengan perempuan beriman itu ada tersebut dengan jelas di dalam surah an-Nuur ayat 30-31.

Yaitu supaya perempuan-perempuan beriman menahan penglihatan, memelihara kehormatan, dan jangan menonjolkan perhiasan (kecantikan), dan Mukmin laki-laki pun diperintahkan menahan penglihatan, memelihara kehormatan (ayat 30).

Jadi dalam kedua ayat ini hanya sama-sama diperintah agar dalam pertemuan umum menjaga sopan santun.

Tetapi mengapa Majelis Tarjih pada waktu itu menyuruh adakan tabir pembatas pertemuan laki-laki dan perempuan?

Disini berlakulah ijtihad.

Yaitu yang dinamai,

"Menutup pintu bahaya."

Niscaya hasil pendapat yang seperti ini dipengaruhi oleh ruang dan waktu di masa itu.

Dan ketika hal ini diperbincangkan sebelum diputuskan, tetap ada perlainan pendapat.

Tidak seluruhnya setuju dengan pendapat wajib memakai tabir.

Setelah 30 Tahun di belakang, beberapa ulama dalam kalangan Muhammadiyah sendiri tidaklah teguh lagi mempertahankan memakai tabir, melainkan berpegang kepada nash yang nyata dalam surah an-Nuur ayat 30 dan 31 itu saja.

Sebab itu dalam masa 30 Tahun terdapat perbedaan pendapat dan peninjauan kembali.

Sebab dia ada hasil perlengkapan agama dari pikiran manusia yang bisa berubah-ubah karena perubahan tingkat.

Terdapat lagi misal yang lain.

Yaitu pada Tahun 1930 terjadi pertukaran pikiran yang dahsyat di antara ulama Muhammadiyah KH. Mas Mansur dan guru dan ayah saya, Syekh Dr. Abdul Karim Amrullah, dalam soal perempuan berpidato di hadapan majelis umum yang dihadiri oleh banyak kaum laki-laki.

Ayahku mulanya berpendapat "haram" perempuan berpidato di hadapan laki-laki.

Dan KH. Mas Mansur mulanya berpendirian bahwa perempuan berpidato di hadapan laki-laki itu tidak haram melainkan boleh saja, tidak terlarang.

Setelah mereka bertukar pikiran dalam suasana ilmiah agama yang tinggi 2-3 jam lamanya, akhirnya mereka keduanya sependapat bahwa pidato perempuan di hadapan majelis laki-laki itu adalah makruh.

Mengapa yang satu menurun dari haram ke makruh, dan yang satu naik dari boleh ke makruh?

Sebabnya jelas saja, ialah tidak ada nash dari Al-Qur'an dan Hadits yang melarangnya.

Tetapi kedua alim besar itu berijtihad memakai pikiran masing-masing di dalam menetapkan hukum.

Syekh Abdul Karim Amrullah lebih banyak menilik kaedah menutup pintu bahaya tadi.

Dan beliau pun memakai kaedah Ushul Fiqh yang terkenal,

"Menolak kebinasaan lebih dahulu dari pada mengambil maslahat."

Sedang KH. Mas Mansur memandang bahwa manfaatnya lebih banyak daripada mudharatnya, agar orang laki-laki dapat mendengarkan langsung suara hati kaum perempuan,

Dan yang akan dibicarakan oleh perempuan itu tidak lain daripada urusan-urusan yang mengenai agama juga.

Akhirnya setelah bertukar pikiran, mereka jadi sepaham.

Syekh Abdul Karim Amrullah mengakui bahwa tidak ada nash yang melarang.

KH. Mas Mansur mengakui bahwa memang bisa timbul mudharat bagi laki-laki bila melihat perempuan naik mimbar (bukan isi pembicaraan perempuan itu yang didengarnya, tetapi kecantikan wajah perempuan itu yang diperhatikannya).

Akhirnya mereka sependapat bahwa hukumnya makruh.

Dan dalam kaedah ushul pun tersebut bahwa suatu yang dihukumkan makruh, bisa hilang makruhnya itu bila datang suatu darurat.

Tetapi akhirnya keduanya pun sama pendapat bahwa pidato perempuan di hadapan majelis orang laki-laki yang beribu-ribu banyaknya, di dalam Tahun 1930, di kota Bukittinggi Alam Minangkabau, lebih baik ditiadakan saja.

Sebab Syekh Muhammad Jamil Jambek mengeluarkan pendapat bahwa keadaan demikian belum sesuai dengan adat-istiadat Minangkabau, pada Tahun 1930.

Akhirnya pidato itu ditiadakan.

Apakah yang kita lihat disini?

lalah perbedaan pendapat karena perlainan iklim di antara

KH. Mas Mansur yang berdiam di Surabaya

dengan

Syekh Abdul Karim Amrullah yang berdiam di Sungai Batang Maninjau.

Buku dan kitab yang dibaca sama, sumber Al-Qur'an dan Hadits sama, tetapi dalam istiadat berbeda karena pengaruh ruang dan waktu.

Dan tidak ada diantara kita yang akan mengatakan bahwa kedua pendapat dari kedua ulama itu bukan agama.

Bahkan keduanya adalah termasuk dalam rangka pembinaan agama.

Tetapi kalau salah satunya sudah di-taqlid-i saja oleh yang datang kemudian, atau disamakan nilainya dengan Al-Qur'an dan Hadits, membekulah pikiran manusia dan beku (jumud) pulalah perkembangan agama.

Dari segi ini haruslah kita lihat pula isi firman Allah dalam ayat ini.

Yaitu bahwasanya agama Islam telah sempurna, dengan arti bahwa pokok yang mengenai hukum ibadah tidak dapat ditambah lagi, dan Nabi baru tidak akan datang lagi.

Dan Islam pun sudah sangat sempurna, sebab dia memberikan kebebasan kepada manusia yang mempunyai kelayakan buat berpikir dan berijtihad.

Ini pulalah sebabnya terdapat Fatwa Imam Syafi'i yang qadim, yaitu ketika beliau masih tinggal di Irak, dan yang adid yaitu setelah beliau berpindah dan menetap di Mesir.

Yang menunjukkan bahwa Islam itu sendiri telah sempurna, dan manusia yang berijtihad mempergunakan pikirannya pun mencari yang mendekati kesempurnaan itu pula, dengan menilik ruang dan waktu, sebab hukum dan akibat hukum.

Sekarang kembali soal makanan lagi!

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 601-603, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

TAFSIR QS. AL-AHZAAB 59-62

PAKAIAN SOPAN

Selangkah demi selangkah masyarakat Islam itu ditentukan bentuknya agar berbeda dengan masyarakat jahiliyyah. Terutama ditunjukkan perbedaan pakaian perempuan yang menunjukkan adab sopan santun yang tinggi.

Sebelum peraturan ini turun tidaklah berbeda pakaian perempuan Islam dengan perempuan musyrik. Tidak berbeda pakaian budak-budak perempuan pembantu rumah tangga dengan pakaian perempuan merdeka. Oleh karena di masa itu orang belum mempunyai kakus di dalam rumah sebagaimana sekarang, maka kalau perempuan hendak membuang hajatnya, keluarlah mereka setelah hari mulai malam ke tempat yang agak tersisih, di situlah mereka membuang hajat. Di waktu demikianlah kesempatan yang baik bagi pemuda-pemuda jahat untuk mengganggu. Mereka sama-ratakan saja perempuan baik-baik dengan budak-budak. Tetapi kalau perempuan yang diganggu itu bersorak-sorak, mereka pun lari.

Maka datanglah ayat ini,

"Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istri engkau dan anak-anak perempuan engkau dan istri-istri orang-orang yang beriman, "Hendaklah mereka melekatkan jilbab mereka ke atas diri mereka." (pangkal ayat 59).

Di dalam ayat ini Rasulullah saw. diperintahkan oleh Allah SWT supaya memerintahkan pula kepada istri-istrinya dan anak-anaknya yang perempuan. Setelah itu ialah kepada istri-istri orang yang beriman. Supaya kalau mereka keluar dari rumah hendaklah memakai jilbab.

Anak beliau yang laki-laki ialah Qasim, Thahir, Abdullah, dan Thayyib. Ada juga riwayat mengatakan bahwa Thahir, Thayyib, dan Abdullah hanya nama dari satu orang. Berdasar kepada ini maka tiga orang anak laki-laki dari satu ibu, yaitu Khadijah yang agung. Setelah di Madinah lahir Ibrahim dari dayang beliau Mariah orang Qibthi. Kesemua anak laki-laki ini meninggal di bawah umur. Qasim meninggal dalam usia 2 Tahun, Ibrahim usia 10 bulan. Nama Qasim dikekalkan jadi kunniyat Rasulullah Abul Qasim. Menurut kebiasaan orang Arab memanggil seorang yang telah berumur dengan kunnyah-nya memakai nama anak itu adalah satu penghormatan.

Maka yang sampai dewasa hanyalah 4 anak perempuan. Keempatnya dari satu ibu, yaitu Khadijah.

Anak perempuan yang paling tua ialah Zainab. Dia dikawini oleh anak dari saudara ibunya, yaitu Haalah binti Khuwailid yang ber-kunnyah Abul Ash bin Rabi. (Sedang Khadijah ialah binti Khuwailid pula). Zainab meninggal tahun kedelapan hijrah. Suaminya kemudian masuk Islam dari dia, sesudah ditebus oleh Zainab dengan kalung pusaka ibunya dari tawanan di Perang Badar.

Anak perempuan kedua ialah Ruqayah. Mulanya Ruqayah kawin dengan Utbah bin Abu Lahab sebelum Nabi Muhammad saw. menyatakan dirinya sebagai utusan Allah. Setelah Nabi menyatakan diri sebagai utusan Allah maka pamannya, Abu Lahab, itulah salah seorang yang sangat keras menentang dakwah beliau. Maka oleh karena sangat marahnya kepada Rasulullah saw. dia bersumpah kepada anaknya, "Kepalaku haram bersentuh dengan kepalamu sebelum anak si Muhammad itu engkau ceraikan." Lantaran paksaan ayahnya itu maka Utbah pun menceraikan Ruqayah sebelum mereka serumah. Ketika ibunya (Khadijah) menyatakan iman kepada seruan Nabi, Ruqayah telah mengikuti langkah ibunya, dan turut berbaiat terhadap Rasulullah bersama perempuan-perempuan yang lain. Kemudian dia dikawini oleh Utsman bin Affan. Perempuan-perempuan Quraisy sangat senang atas perjodohan kedua orang ini sehingga jadi buah nyanyian mereka.

"Dua bahagia dilihat insan, istri Ruqayah, suaminya Utsman."

Dua kali Utsman hijrah ke Habsyi kedua kalinya Ruqayah ikut serta. Sekali Ruqayah keguguran dalam mengandung. Setelah itu mereka beroleh putra diberi nama Abdullah. Tetapi setelah Abdullah berusia 6 Tahun, dicocok ayam jantan matanya, maka meninggallah anak itu dari sebab kesakitan. Setelah itu Ruqayah tidak beranak lagi. Setelah orang berbondong hijrah ke Madinah, Utsman dan Ruqayah pun ikut berhijrah. Ketika Rasululah saw. akan menghadapi Peperangan Badar yang terkenal itu, Ruqayah sakit. Utsman diperintahkan oleh Rasulullah menjaga istrinya. Sebab itulah maka dia tidak turut dalam Peperangan Badar.

Peperangan di Badar membawa kemenangan gemilang bagi Islam. Zaid bin Haritsah disuruh pulang terlebih dahulu ke Madinah menyampaikan berita kemenangan dan Nabi pulang kemudian dengan rombongan. Tetapi sesampai Zaid bin Haritsah di Madinah, didapatinya orang baru saja selesai menimbuni kuburan Ruqayah, sehingga kematiannya tidak dihadiri oleh Rasulullah saw. Ini kejadian 17 bulan sesudah hijrah, atau termasuk dalam tahun kedua.

Ketiga ialah Ummi Kaltsum. Dia dikawini oleh Utaibah bin Abu Lahab, adik pula dari Utbah sebelum nubuwwat. Dia pun dipaksa oleh ayahnya menceraikan istrinya itu, sebelum mereka bercampur. Dia pun memeluk Islam bersamaan dengan ibunya ketika beliau menyatakan iman kepada Nabi dan Ummi Kaltsum pun turut berbaiat kepada Nabi bersama-sama dengan perempuan-perempuan lain, seketika diadakan baiat untuk perempuan, dan dia pun turut hijrah ke Madinah menuruti ayahnya, Rasulullah saw. Setelah Ruqayah meninggal dunia, dikawinkanlah Ummi Kaltsum oleh Rasulullah saw. dengan Utsman. Cara kitanya ialah ganti tikar. Karena kawin dengan 2 anak Rasulullah berturut-turut 2 kali itulah maka Utsman diberi orang gelar "Dzin Nurani", yang mempunyai dua cahaya. Dia pun meninggal dalam bulan Sya'ban tahun kesembilan hijriyah. Rasulullah saw. sendiri tegak memberikan kafan yang akan dipakaikan keadaan dirinya di balik dinding tempat mayatnya dimandikan. Rasulullah sendiri turut berdiri di pinggir kuburnya ketika dia dimasukkan ke liang lahad oleh Ali bin Abi Thalib, Fadhal bin Abbas, dan Usamah bin Zaid.

Yang paling bungsu ialah Fatimah. Dialah yang dikawinkan Nabi dengan Ali bin Abi Thalib. Fatimah dilahirkan 5 Tahun sebelum nubuwwat. Dialah anak paling bungsu. Dia dikawini oleh Ali pada bulan Ramadhan tahun kedua hijrah, dan mereka mulai serumah pada bulan Dzulhijjah tahun itu. Fatimah meninggal tidak berapa lama sesudah Rasulullah saw. meninggal. Fatimah sajalah anaknya yang kemudian wafat dari beliau saw.

Maka keempat anak perempuan inilah yang dimaksud dengan wahyu ini. Kalau ayat yang tengah kita tafsirkan ini turun di sekitar tahun keempat atau kelima, maka Ruqayah tidak ada lagi.

Kepada istri-istri beliau dan anak-anak beliau didahulukan perintah, sesudah itu baru kepada istri-istri orang yang beriman, ialah istri-istri dan anak-anak perempuan itulah yang lebih dahulu akan dicontoh orang banyak.

Di samping kepada istri-istri dan kepada anak-anak perempuan beliau itu, perintah ini pun hendaklah disampaikan pula kepada istri-istri dari orang-orang yang beriman. Yaitu supaya mereka melekatkan jilbab ke atas badan mereka. Kata jamak dari jilbab ialah jalaabib.

Al-Qurthubi dalam tafsirnya mengatakan bahwa jilbab itu lebih luas dari selendang.

Ibnu Abbas dan Ibnu Mas'ud, keduanya sahabat Rasulullah yang terhitung alim mengatakan bahwa jilbab ialah rida', semacam selimut luas.

Al-Qurthubi menjelaskan sekali lagi, "Yang benar ialah sehelai kain yang menutupi seluruh badan."

Ibnu Katsir mengatakan bahwa jilbab ialah ditutupkan ke badan di atas daripada selendang.

Sufyan Tsauri memberikan penjelasan, bahwa makanya istri-istri Nabi dan anak-anak perempuan beliau dan orang-orang perempuan beriman disuruh memakai jilbab di luar pakaian biasa ialah supaya jadi tanda bahwa mereka adalah perempuan-perempuan terhormat dan merdeka, bukan budak-budak, dayang dan bukan perempuan lacur.

As-Suddi berkata, "Orang-orang jahat di Madinah keluar pada malam hari seketika mulai gelap, mereka pergi ke jalan-jalan di Madinah, lalu mereka ganggui perempuan yang lalu lintas. Sedang rumah-rumah di Madinah ketika itu berdesak-desak sempit. Maka jika hari telah malam perempuan-perempuan pun keluar ke jalan mencari tempat untuk membuangkan kotoran mereka. Di waktu itulah orang-orang jahat itu mulai mengganggu. Kalau mereka lihat perempuan memakai jilbab tidaklah mereka ganggu. Mereka berkata, "Ini perempuan merdeka, jangan diganggu". Kalau mereka lihat tidak memakai jilbab, mereka berkata, "Ini budak!", lalu mereka kerumuni.

Itulah sebab maka lanjutan ayat berbunyi,

"Yang demikian itu ialah supaya mereka lebih mudah dikenal, maka tidaklah mereka akan diganggu orang."

Karena dengan tanda jilbab itu jelaslah bahwa mereka orang-orang terhormat.

"Dan Allah adalah Pemberi Ampun dan Penyayang." (ujung ayat 59).

Maksud ujung ayat ialah menghilangkan keragu-raguan manusia atas kesalahan selama ini, sebelum peraturan ini turun. Karena orang-orang terhormat, perempuan-perempuan beriman berpakaian sama saja dengan budak dan perempuan lacur.

Sama saja dengan koteka di Papua, yang khas hanya penutup alat kelamin yang membuat malu orang yang beradab jika melihat orang berpakaian begitu. Jika orang-orang Papua itu telah hidup dalam peradaban dan kemajuan, niscaya akan ada di antara mereka yang merasa dirinya berdosa karena selama ini telah membukakan seluruh tubuh di hadapan orang lain, kecuali yang sedikit itu saja yang tertutup. Maka ujung ayat ini pun dapatlah mengenai diri mereka, bahwa Allah SWT sudi memberi ampun dan Allah itu Maha Penyayang kepada hamba-Nya. Sebelum syari'at datang, cukuplah akal dengan sekadar kecerdasan yang terbatas itu saja jadi penimbang buruk dan baik.

JILBAB DI INDONESIA

Ketika penulis datang ke Tanjung Pura dan Pangkalan Berandan dalam Tahun 1926, penulis masih mendapati kaum perempuan di sana memakai jilbab. Yaitu kain sarung ditutupkan ke seluruh badan hanya separuh muka saja yang kelihatan. Asal saja mereka keluar dari rumah hendak menemui keluarga di rumah lain, mereka tetap menutup seluruh badan dengan memasukkan badan itu ke dalam kain sarung dan salah satu dari kedua belah tangannya memegang kain itu di muka, sehingga hanya separuh yang terbuka, bahkan hanya mata saja.

Seketika penulis datang ke Makassar pada Tahun 1931 sampai meninggalkannya pada Tahun 1934, perempuan-perempuan yang berasal dari Selayar berbondong-bondong pergi ke tempat mereka jadi buruh harian memilih kopi di gudang-gudang di Pelabuhan Makassar, semuanya memakai jilbab, persis seperti di Langkat itu pula.

Seketika penulis pergi ke Bima pada Tahun 1956 penulis masih mendapati perempuan di Bima jika keluar dari rumah berselimutkan kain sarung sebagaimana di Langkat 1927 dan di Makassar 1931 itu pula.

Seketika penulis pergi ke Gorontalo pada Tahun 1967 (40 Tahun sesudah ke Langkat) penulis dapati perempuan-perempuan Gorontalo memakai jilbab di luar bajunya, meskipun pakaian yang di dalam memakai rok modern.

Pergerakan perempuan Islam di bawah pimpinan ulama-ulama pun membuat pakaian perempuan yang memegang kesopanan Islam yang tidak memperagakan badan.

Gerakan Aisyiyah di Tanah Jawa atas anjuran Kiai H.A. Dahlan selain memakai khimaar (selendang) yang dililitkan ke dada agar dada jangan kelihatan, dibawa pula untuk menutup kepala. Ketika saya mulai datang ke Yogyakarta pada Tahun 1924 (3 Tahun sebelum ke Tanjung Pura Langkat) kelihatan di samping khimaar penutup kepala dan dada itu, Aisyiyah pun memakai jilbab di luarnya. Pakaian secara begini menjalar ke seluruh tanah air dalam pergerakan Islam.

Almarhum Rangkayo Rahmah el-Yunusiyah mempertahankan khimaar dengan dililitkan pada muka dan kepala dengan kemas sekali, muka tidak ditutup.

Seorang perempuan pergerakan yang sama pengguruannya dengan Rangkayo Rahmah el-Yunusiyah, yaitu Rangkayo Hajah Rasuna Said tidak pernah lepas khimaar (selendang) itu dari kepala beliau.

Menjadi adat istiadat perempuan Indonesia jika telah kembali dari haji, lalu memakai khimaar (selendang) yang dililitkan di kepala dengan di bawahnya dipasak dengan sanggul bergulung, sehingga rambut kemas tidak kelihatan.

Tetapi di zaman akhir-akhir ini perempuan-perempuan modern yang mulai tertarik kembali kepada agama, lalu pergi naik haji, di Jakarta (1974) pernah mengadakan suatu mode show (peragaan pakaian) di Bali Room Hotel Indonesia memperagakan pakaian modern yang sesuai dengan ajaran Islam dan tidak menghilangkan rasa keindahan (estetika).

Beberapa tahun yang lalu tukang-tukang mode di Eropa membuat kaum perempuan setengah gila dengan keluarnya mode rok mini, yaitu rok yang sangat pendek sehingga sebagian besar paha jadi terbuka. Tetapi kemudian mereka bosan juga sehingga timbul rok maxi, yaitu rok panjang atau longdress yaitu pakaian panjang sampai ke kaki. Perempuan-perempuan modern yang telah haji lalu memakai longdress atau rok panjang itu jadi stelan pakaian orang haji.

Dalam ayat yang kita tafsirkan ini jelaslah bahwa bentuk pakaian atau modelnya tidaklah ditentukan oleh Al-Qur'an. Yang jadi pokok yang dikehendaki Al-Qur'an ialah pakaian yang menunjukkan iman kepada Allah SWT, pakaian yang menunjukkan kesopanan, bukan yang memperagakan badan untuk jadi tontonan laki-laki.

Alangkah baiknya kalau yang jadi ahli mode itu orang yang beriman kepada Allah SWT, bukan yang beriman kepada uang dan kepada daya tarik syahwat nafsu (sex appeal).

"Sesungguhnya jika tidak juga berhenti orang-orang yang munafik itu dan orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan pengacau-pengacau di Madinah, niscaya akan Kami kerahkan engkau terhadap mereka." (pangkal ayat 60).

Pangkal ayat ini berisi ancaman keras kepada tiga unsur yang menghalangi perkembangan masyarakat Islam yang telah tumbuh di Madinah, terutama sesudah Islam menang menghadapi musuh-musuhnya pihak luar, yaitu orang Yahudi selama ini.

Meskipun mereka telah mengikat janji akan hidup berdampingan secara damai dengan kaum Muslimin ketika mula saja Nabi saw. hijrah ke Madinah, namun satu demi satu perkauman Yahudi itu memungkiri janjinya dan menyalakan sikap dengkinya.

Yang pertama ialah Yahudi Bani Qainuqa. Sesudah kaum Muslimin mencapai kemenangan dalam Peperangan Badar, ketika kaum Muslimin bergembira dan bersyukur, mereka mencemooh dan mengatakan bahwa kemenangan itu tidak ada artinya, sebab yang dihadapi ialah orang yang bodoh yang tidak mengerti ilmu perang. "Kalau kalian berhadapan dengan kami satu waktu kelak, baru kalian tahu kelak siapa kami!"

Bukan cukup hingga mencemooh dan memperkecil kemenangan Rasulullah saw. itu saja, bahkan mereka telah lebih berani. Seorang perempuan Islam pergi ke pasar Bani Qainuqa hendak menjual perhiasannya, lalu dia berhenti berteduh di muka kedai seorang tukang sepuh. Lalu perempuan itu dikerumuni oleh beberapa pemuda Yahudi. Mereka ingin hendak mempermainkannya dan hendak memegang badannya. Perempuan itu sangat marah. Lalu oleh Yahudi tukang sepuh itu ditarik ujung kainnya lalu diangkat ke atas, sehingga seketika dia berdiri kelihatanlah bagian badannya yang kita namai kehormatan. Mereka pun riuh rendah tertawa. Perempuan itu memekik setinggi-tingginya bercampur marah dan malu. Lalu kedengaran pekik itu oleh seorang pemuda Islam yang berada di situ. Disentaknya pisaunya ditikamnya Yahudi tukang sepuh itu. Maka dia pun dikeroyok oleh Yahudi yang lain sehingga mati pula. Hal ini lekas ketahuan oleh Rasulullah.

Maka segeralah dikepung benteng pertahanan Yahudi Bani Qainuqa itu. Jelaslah bahwa mereka tidak sanggup melawan, sehingga setelah 15 hari terkepung mereka menyerah. Akhirnya karena permintaan dan pelindungnya, Abdullah bin Ubay semua mereka diusir dari Madinah.

Kedua ialah Bani Nadhir yang ketika Rasulullah datang ke kampung mereka hendak mengumpulkan uang diyat (ganti qishas), karena ada seorang Muslim membunuh dengan kekhilafan terhadap kaum yang telah mengikat perjanjian, (lihat surah an-Nisaa' ayat 92, Tafsir al-Azhar Juz 4), sesuai dengan perjanjian yang telah disetujui bersama ketika Nabi mula-mula hijrah. Maka ketika Rasulullah duduk bersandar berlepas lelah di dinding rumah salah seorang mereka, mereka telah mengatur komplot hendak membunuh Nabi dengan menjatuhkan sebuah lesung batu dari suluh rumah itu tepat mengenai kepala Nabi. Yang kalau maksud itu berhasil, matilah Nabi waktu itu. Tetapi Jibril datang memberitahu dan Nabi segera meninggalkan tempat itu. Sesampai di Madinah, Rasulullah memerintahkan kepada Muhammad bin Muslimah menyampaikan ultimatum Rasulullah, "Beritahu Bani Nadhir! Mereka mesti berangkat meninggalkan Madinah. Dalam masa 10 hari mesti selesai semua. Kalau masih ada kedapatan yang tinggal selepas 10 hari akan dipotong lehernya!"

Mereka coba juga pada mulanya hendak bertahan, karena ada bisikan kaum munafik menyuruh bertahan dan mereka bersedia membantu. Tetapi setelah Bani Nadhir bertahan karena janji munafik akan membantu, terutama kepala munafik Abdullah bin Ubay ternyata bahwa janji itu hanya di mulut saja, tidak dalam kenyataan. Rencana mereka bertahan gagal. Rencana Nabi saw. berlaku sepenuhnya. Mereka mesti berangkat. Boleh bawa seluruh harta mereka, kecuali senjata. Sebelum berangkat mereka rusak binasakan lebih dahulu harta benda mereka yang berdiri kukuh. (Lihat surah al-Hasyr ayat 2, Tafsir al-Azhar Juz 28).

Yang terakhir sekali ialah Bani Quraizhah yang telah kita uraikan dalam surah al-Ahzaab ini juga, ayat 9 sampai 27, ujung Juz 21. Mereka disapu bersih, laki-laki dihukum bunuh semua, perempuan-perempuan dan kanak-kanak jadi tawanan.

Dengan ini bersihlah kota Madinah, pusat pertama dari Daulah Islamiyah dari musuh-musuhnya yang selalu mengganggu dia, dan yang tinggal di Madinah hanya satu bangsa dan satu suku bangsa, yaitu Arab. Baik Arab keturunan Adnan, yaitu Muhajirin yang datang dari Mekah, atau keturunan Qahthan, yaitu Anshar yang menyambut di Madinah yang berintikan Aus dan Khazraj.

Tetapi setelah Yahudi habis ternyata bahwa sisa-sisa perangai buruk masih belum habis. Dalam ayat ini dijelaskan tiga macam, yaitu kaum munafik, kaum yang dalam hatinya ada penyakit dan pengacau-pengacau.

Perangai buruk ini ternyata tiga coraknya.

Pertama, munafik, kedua, dalam hati ada penyakit dan ketiga selalu mengacau.

Tiga perangai bukan berarti tiga macam golongan, lalu dibagi-bagi orangnya: si anu munafik, si fulan berpenyakit dalam hatinya dan si fulan tukang kacau.

Namun kesan atau bekas dari ketiga perangai buruk itu masih terasa, meskipun Yahudi telah hapus dari Madinah.

Said bin Manshur merawikan dari Abu Ruzain, bahwa beliau ini mengatakan, "Ketiganya itu adalah satu. Artinya ialah mereka telah mengumpulkan ketiga perangai tersebut."

Perangai munafik ialah apabila berhadapan mulut mereka manis, sebagai orang yang setuju. Tetapi kalau berkumpul dengan kawan-kawannya sepaham, kerjanya hanya menyebut yang buruk-buruk saja. Surah al-Baqarah dari ayat 8 sampai ayat 20 menguraikan sifat-sifat orang munafik.

Orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit, menurut keterangan Ikrimah, seorang ulama tabi'in ialah orang yang pikirannya tidak sehat lagi karena telah terpusat kepada syahwat terhadap perempuan saja. Ingatannya siang malam hanya kepada perempuan bagaimana supaya nafsunya lepas dengan berzina. Orang-orang semacam inilah yang mengintip perempuan yang keluar setelah hari malam, sehingga terpaksa turun wahyu memerintahkan istri-istri Nabi dan anak-anak perempuan Nabi dan istri-istri orang beriman memakai jilbab kalau keluar dari rumah, baik siang, apatah lagi malam.

Ungkapan Al-Qur'an tentang orang ini, yaitu "orang-orang yang dalam hatinya ada penyakit", adalah ungkapan yang tepat sekali. Ahli-ahli ilmu jiwa modern pun berpendapat bahwa orang semacam ini tidak normal lagi. Baik dia laki-laki atau dia perempuan. Penyakit ketagihan bersetubuh itu dinamai sex maniac. Telah tumpul otaknya karena kekuatan energi dirinya telah terkumpul kepada alat kelaminnya belaka.

Orang-orang semacam ini dapat mengacaukan masyarakat yang sopan. Dia tidak tahu malu. Penglihatan matanya sudah ganjil, meleleh seleranya melihat pinggul orang perempuan atau melihat susu mereka di balik kain.

"Pengacau-pengacau di Madinah."

"Pengacau-pengacau" kita pilih jadi makna dari kalimat al-Murjifuuna. Sebab al-Qurthubi di dalam tafsirnya memberikan tafsiran demikian.

"Al-Murjifuuna di Madinah ialah kaum yang selalu menyiarkan berita-berita buruk kepada orang-orang yang beriman yang akan menggoncangkan hati mereka. Kalau Rasulullah pergi berperang, maka sebelum datang berita dari Rasulullah sendiri mereka terlebih dahulu telah membuat berita sendiri, misalnya bahwa perang Rasulullah kalah, kabarnya si anu mati terbunuh, atau sekian ribu musuh telah bersiap hendak menyerbu ke Madinah."

Pendapat ini dikemukakan oleh al-Qurthubi dari penafsiran Qatadah.

Ibnu Abbas menjelaskan arti irjaaf sebagai pokok kata dari murjifuun, ialah mencari-cari fitnah. Atau menyebarkan berita-berita bohong untuk mencari keuntungan dari penyebaran berita begitu.

Di dalam ayat 6 dari surah an-Naazi'aat ada tertulis,

"Di hari itu akan bergoncanglah goncangan." (an-Naazi'aat: 6).

Sebab itu rajafa dan raajifah itu berarti juga goncang dan gempa. Sebab itu maka tukang-tukang pengacau itu ialah orang-orang yang suka sekali menyebarkan berita-berita yang menggoncangkan, bahkan mengacaukan. Itulah yang di dalam kata modern disebut orang tukang provokasi. Tukang kacau, tukang sebarkan berita bohong. Tukang bikin ribut. Di zaman perang dahulu disebut radio lutut. Orang yang lemah jiwanya, atau orang banyak yang tidak sempat berpikir (massa psychology) bisa cepat terpengaruh oleh berita-berita bohong semacam ini.

Maka Allah SWT mengancam bahwa jika ketiga perangai itu masih ada dan bukti-bukti telah dikumpulkan, "akan kami kerahkan engkau terhadap mereka".

Tegasnya kalau perangai-perangai buruk itu tidak juga diubah, Allah akan mengizinkan Nabi memusnahkan mereka, menangkapi mereka, memerangi mereka, menghapuskan pengaruh mereka.

Akibatnya ialah,

"Kemudian itu tidaklah mereka akan bertetangga lagi dengan engkau di situ."

Artinya bahwa mereka akan dimusnahkan atau sekurang-kurangnya bahwa orang-orang yang diragukan kesetiaannya disuruh saja pindah ke negeri lain, sebagaimana telah dilakukan dengan orang-orang Yahudi dari tiga kaum itu, Bani Qainuqa, Bani Nadhir dan Bani Quraizhah.

"Kecuali dalam masa sedikit." (ujung ayat 60).

Artinya bahwa kalau perintah Allah SWT datang menggencet mereka, tidaklah akan lama mereka dapat hidup sentosa. Kian lama hidup mereka akan kian sempit. Atau hanya sedikit masa diberi kesempatan buat mereka tinggal di Madinah. Karena barangsiapa yang dibolehkan tinggal di Madinah berartilah bahwa dia telah menjadi tetangga Rasulullah saw. Bagaimana orang-orang yang telah terang-terangan jadi musuh akan dibiarkan jadi tetangga.

"Mereka dalam keadaan terkutuk di mana saja mereka dijumpai." (pangkal ayat 61).

Artinya bahwa yang tidak segera mengubah perangai-perangai buruk itu sekurangnya akan diusir. Memang setelah turun surah Bara'ah atau at-Taubah pernahlah orang-orang yang ditandai masih munafik itu diusir keluar dari dalam masjid.

Orang-orang Islam berkata kepada mereka, "Keluar dari sini! Engkau munafik!"

Maka orang-orang yang telah terusir itu akan hinalah dia ke mana saja pun dia pergi. Ke mana dia akan pergi di waktu itu? Padahal kian lama kekuasaan Islam makin meluas. Niscaya akan ditanyakan orang, "Dari mana orang baru ini dahulunya?" Bukankah dia ini dahulu tinggal di Madinah, kota Rasul? Mengapa dia telah di sini sekarang? Apakah dia dimuntahkan oleh masyarakat Muslim?

"Dan mereka akan dibunuh sampai semusnah-musnahnya." (ujung ayat 61).

Artinya bahwa kalau mereka tidak mengubah perangai salah satu dari dua akan mereka temui.

Pertama, diusir habis dan menjadi orang hina di mana saja mereka dijumpai. Atau yang kedua, yaitu dibunuh dibikin habis. Yang kedua ini tidaklah sampai bertemu, karena dengan meninggalnya orang yang mereka anggap pemimpin mereka, yaitu Abdullah bin Ubay, maka yang tinggal sudah berdiam diri dan tunduk.

"Sunnah Allah." (pangkal ayat 62).

Artinya begitulah peraturan Allah yang tidak bisa berubah lagi.

"Yang telah berlaku pada orang-orang yang telah terdahulu."

Artinya pembersihan ke dalam sesudah selesai pembersihan keluar, membasmi kejahatan Yahudi.

"Dan sekali-kali tidak akan didapati bagi Sunatullah itu suatu pengganti." (ujung ayat 62).

Kalau pembersihan tidak dilakukan, niscaya agama dan kekuasaan yang telah berdiri akan dihancurkan dari dalam oleh orang-orang yang kesetiaannya diragukan.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 7 Hal. 259-266, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

SURAH AL-AHZAAB

PENGANTAR JUZ 22

Diterangkan pula beberapa kewajiban yang wajib dijaga terutama dalam cara berpakaian bagi seorang Muslimah, supaya orang dapat mengenalnya sebagai seorang yang berkesopanan terhormat, bukan perempuan yang mudah saja dipermainkan orang.

TUNTUNAN KEPADA ISTRI-ISTRI NABI SAW. (I)

Seorang budak perempuan boleh hanya berbaju hingga tertutup di antara pusat dengan lutut, tetapi seorang perempuan merdeka, yang boleh terbuka hanya muka dan kedua telapak tangan.

Hukuman seorang budak hamba sahaya jika dia dihukum dera, hanya separuh dari hukum yang harus diterima oleh orang yang merdeka.

TUNTUNAN KEPADA ISTRI-ISTRI NABI SAW. (II)

"Dan menetaplah kamu di dalam rumah kamu." (al-Ahzaab pangkal ayat 33).

Artinya, hendaklah istri-istri Nabi memandang bahwa rumahnya, yaitu rumah suaminya, itulah tempat tinggalnya yang tenteram dan aman. Di sanalah terdapat mawaddatan dan rahmatan, yaitu cinta dan kasih sayang.

MENJADI IBU RUMAH TANGGA YANG TERHORMAT.

"Dan janganlah kamu berhias secara berhias orang jahiliyyah masa dahulu."

Karena orang perempuan jahiliyyah masa dahulu kalau mereka berhias, ialah supaya tampak lebih cantik, lebih tertonjol, berhias agar lebih menarik mata orang. Berhias supaya kelihatan lebih montok. Berhias supaya mata laki-laki silau melihat. Berhias laksana memanggil-manggil minta dipegang. Maka kalau ajaran Nabi telah diterima, iman telah bersarang dalam dada berhiaslah tetapi berhias secara Islam, berhias yang sopan, berhias yang tidak menyolok mata.

Inilah pedoman pokok yang diberikan Allah dan Rasul terhadap istri Nabi seluruhnya dan setiap perempuan yang beriman. Meskipun pangkal ayat dikhususkan kepada istri Nabi, bukanlah berarti bahwa perintah dan peringatan ini hanya khusus kepada istri Nabi saja. Bukanlah berarti, bahwa seorang perempuan Islam yang bukan istri Nabi boleh berhias secara jahiliyyah, agar mata orang terpesona melihat, perempuan berpakaian namun dia sama dengan bertelanjang. Sebab maksudnya berhias bukan untuk suaminya, melainkan buat menarik mata laki-laki lain, biar tergila-gila.

Tidaklah diterangkan dalam ayat ini apa mode pakaian. Atau bentuk pakaian perempuan bangsa apa yang harus dipakai, bangsa Arabkah atau Persia? Ini adalah pedoman untuk dipakai di tiap-tiap masa dan di tiap-tiap tempat yang terdapat masyarakat Islam. Tidak dibicarakan apakah pakaian perempuan mesti menurut model Arab di zaman Nabi, atau rok model Eropa atau baju kurung secara Minang, kebaya secara Melayu, atau kebaya secara Jawa, Yang jadi pokok ialah "Jangan berhias secara jahiliyyah", melainkan berhiaslah menurut garis kesopanan Islam.

Maka segala pesan Allah SWT untuk disampaikan oleh Rasulullah saw. kepada istri-istrinya ini menjadilah tuntunan bagi tiap-tiap perempuan yang beriman yang bukan istri Rasul; berpakaianlah yang sopan, jangan berhias secara jahiliyyah, janganlah shalat dilalaikan dan berzakatlah kalau ada yang akan dizakatkan dan selalulah taat kepada Allah dan Rasul.

Karena tidak lain maksud Allah SWT ialah agar terbentuk rumah tangga Islam, rumah tangga yang aman damai, dipatrikan oleh ketaatan, bersih dari perangai yang tercela atau penyakit-penyakit buruk dalam hati. Dan penuhlah hendaknya suatu rumah tangga Islam dengan suasana Al-Qur'an.

Kita pun insaf betapa hebatnya perjuangan di zaman jahiliyyah modern ini hendak menegakkan kebenaran Ilahi. Namun yang keji tetaplah keji walaupun banyak orang yang hanyut dibawa arusnya.

"Dan laki-laki dan perempuan yang jujur."

Jujur kita jadikan arti dari Shadiqiin dan Shadiqaat, yang kadang-kadang diartikan juga benar. Tidak berbohong dan bersikap apa adanya. Mengakui bersalah kalau salah. Mempertahankan suatu pendirian yang dianggap benar, walaupun berbagai ragam hal yang akan diderita.

Oleh sebab kejujuran atau sikap benar ini adalah sifat yang terpuji pada segala masa dalam pergaulan manusia, maka banyak sahabat Rasulullah saw. terkenal kejujuran sejak lagi zaman jahiliyyah apatah lagi setelah mereka Islam. Sebab itu maka kejujuran adalah tanda dari iman dan pembohong adalah tanda dari munafik.

Sebab itu Rasulullah saw. bersabda, "Hendaklah kamu jujur, karena jujur akan membawa kepada kebajikan dan kebajikan membawa ke surga. Bilamana seseorang tetap memelihara kejujuran, niscaya dia akan ditulis di sisi Allah sebagai seorang yang jujur. Dan sekali-kali jangan pembohong, karena pembohong adalah petunjuk jalan kepada kejahatan dan kejahatan membawa ke neraka. Tetapi kalau seseorang membiasakan dirinya pembohong dan selalu ucapan bohong akan dituliskan dia di sisi Allah sebagai pembohong." (HR. Bukhari dan Muslim).

"Dan laki-laki dan perempuan yang Mukmin."

Mukmin adalah isim fail pula dari aamana, yu'minu, iimaanan yang berarti percaya.

Iman adalah kelanjutan dari Islam.

Setelah mengakui sungguh-sungguh bahwa, Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa, Sang Hyang Tunggal, dan Muhammad adalah utusan-Nya buat menyampaikan perintah-perintah Allah SWT untuk dilaksanakan, larangan untuk dihentikan, beribadah menurut contoh teladan yang dibawakan Nabi saw., melakukan syari'at yang digariskan Allah dengan penuh kesadaran; itulah dia yang bernama iman dan penganutnya bernama Mukminin, perempuannya disebut Mukminah kalau seorang dan Mukminaat (panjang) kalau banyak.

Perbedaan di antara Islam dengan iman, bahwa Islam barulah semata-mata pengakuan, sedang iman sudah termasuk pelaksanaan.

Rasulullah saw. bersabda, "Tidaklah berzina seorang yang berzina padahal dia beriman, dan tidaklah mencuri seorang yang mencuri, padahal dia beriman." (HR. Bukhari dan Muslim).

Artinya, kalau baru mengaku Islam saja, masih mungkin orang berzina atau mencuri. Tetapi kalau imannya telah tumbuh tidak mungkin lagi dia akan berbuat zina dan mencuri.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 7 Hal. 192-213, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

TAFSIR QS. AN-NUUR 30-31

LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN

Tujuan Islam ialah membangunkan masyarakat Islam yang bersih sesudah terbangun rumah tangga yang bersih. Manusia laki-laki dan perempuan diberi syahwat kelamin (seks) agar supaya mereka jangan punah dan musnah dari muka bumi ini. Laki-laki memerlukan perempuan dan perempuan memerlukan laki-laki. Jantan memerlukan betina dan betina memerlukan jantan. Tetapi masyarakat diberi akal, dan akal sendiri menghendaki hubungan-hubungan yang teratur dan bersih. Syahwat adalah keperluan hidup. Tetapi kalau syahwat tidak terkendali maka kebobrokan dan kekotoranlah yang akan timbul. Kekotoran dan kebobrokan yang amat sukar diselesaikan.

Untuk itu maka kepada laki-laki yang beriman, diberi ingat agar matanya jangan liar bila melihat perempuan cantik, atau memandang bentuk badannya yang menggiurkan syahwat. Dan hendaklah pula dia memelihara kemaluannya, ataupun memelihara tenaga kelaki-lakiannya supaya jangan diboroskan. Pandangan mata yang tidak terkendali merangsang syahwat buat memiliki. Apabila syahwat telah menguasai diri, sehingga tidak terkendali lagi maka kelamin menghendaki kepuasaannya pula. Dan syahwat selamanya tidak akan puas.

Apabila sekali syahwat yang tidak terkendali itu telah menguasai kelamin, sukarlah bagi seseorang melepaskan diri dari kungkungannya. Sehingga lama-kelamaan segenap ingatannya sudah dikuasai belaka oleh syahwat itu. Dia akan berzina, dan zina sekali adalah permulaan dari zina terus. Kata orang, syahwat nafsu kepada seorang perempuan, hanyalah semata-mata sebelum disetubuhi dan setelah nafsu itu dipuaskan, dia meminta lagi dan meminta lagi. Memuaskan kehendak syahwat sekali, artinya ialah permulaan dari penyakit tidak akan puas selama-lamanya, sampai hancur pribadi dan hilang kendali atas diri. Menjadilah kita orang yang kotor. Kadang-kadang terperosok lagi kepada penyakit-penyakit lain yang bertemu gejalanya dalam zaman modern ini. Sehingga orang-orang yang berkedudukan tinggi dalam masyarakat dijangkiti penyakit homoseksual, laki-laki menyetubuhi laki-laki atau perempuan menyetubuhi perempuan (lesbian) atau memainkan alat kelamin dengan tangan sendiri (onani). Maka dalam ayat 30 itu diterangkan,

"Katakanlah kepada orang-orang beriman (laki-laki) itu, supaya mereka menekurkan sebagian pandangan mereka dan mereka memelihara kemaluan mereka. Yang demikian adalah lebih bersih bagi mereka. Sesungguhnya Allah lebih mengetahui apa yang mereka kerjakan." (ayat 30).

Usaha yang pertama ialah menjaga penglihatan mata. Jangan mata diperliar! Pandang pertama tidaklah disengaja. Namun orang yang beriman tidaklah menuruti pandang pertama dengan pandang kedua. Kedua ialah memelihara kemaluan atau kehormatan diri. Karena alat kelamin adalah amanah Allah yang disadari oleh manusia yang berakal apa akan gunanya.

Menahan penglihatan mata itu adalah menjamin kebersihan dan ketenteraman jiwa.

Pada ayat yang seterusnya,

"Dan katakan pula kepada orang-orang yang beriman (perempuan) supaya mereka pun menekurkan pula sebagian pandang mereka dan memelihara kemaluan mereka." (pangkal ayat 31).

Disuruh pula Nabi menerangkan kepada kaum perempuan supaya dia pun terlebih-lebih lagi hendaklah memelihara penglihatan matanya, jangan pula pandangannya diperliarnya. Tunjukkanlah sikap sopanmu pada pandangan matamu, sebab pandangan mata perempuan itu ialah,

Rama-rama terbang di dusun,
Anak Keling bermain kaca,
Bukan hamba mati diracun,
Mati ditikam si sudut mata.

Hal ini disuruh Allah SWT memperingatkan kepada orang yang beriman, artinya yang ini mempunyai dasar kepercayaan kepada Allah SWT dan kepercayaan kepada nilai kemanusiaan, baik laki-laki atau perempuan. Orang yang beriman tidaklah dikendalikan oleh syahwat nafsunya. Jika sekiranya berbahaya pandangan laki-laki, niscaya 10 kali lebih berbahaya lagi ditikam sudut mata perempuan,

Ke pekan ke Payakumbuh,
Membeli ikan tenggiri,
Kalau tak tampak tanda sungguh,
Takutlah laki-laki menghampiri.

Peringatan kepada perempuan, selain menjaga penglihatan mata dan memelihara kemaluan, ditambah lagi, yaitu janganlah dipertontonkan perhiasan mereka kecuali yang nyata saja. Cincin di jari, muka dan tangan, itulah perhiasan yang nyata. Artinya yang sederhana dan tidak menyolok dan menganjurkan. Kemudian diterangkan pula, bahwa hendaklah selendang (kudung) yang telah memang tersedia ada di kepala itu ditutupkan kepada dada.

Memang amatlah payah menerima anjuran ini bagi orang yang lebih tenggelam kepada pergaulan modern sekarang ini. Kehidupan modern adalah pergaulan yang amat bebas di antara laki-laki dan perempuanlah permulaan dari penyakit yang tidak akan sembuh selama-lamanya, sampai hancur pribadi dan hilang kendali atas diri. Menjadilah kita orang yang kotor. Orang dipaksa mesti sopan dan berpekerti halus terhadap perempuan, tetapi pintu-pintu buat mengganggu syahwat dibuka selebar-lebarnya. Mode-mode pakaian perempuan terlepas sama sekali dari kendali agama, lalu masuk ke dalam kekuasaan dictator ahli mode di Paris, London, dan New York. Kaum perempuan adalah di bawah cengkeraman ahli mode Christian Dior. Tempat-tempat pemandian umum terbuka dan dikerumuni oleh pakaian-pakaian yang benar-benar mempertontonkan tubuh perempuan dan pria. Ahli-ahli film membuat bentuk pakaian yang mendebarkan seluruh tubuh dengan nama You can see (Engkau boleh lihat). Dan rok mini yang memperlihatkan pangkal paha perempuan yang menimbulkan syahwat.

Dalam ayat ini disuruh menutupkan selendang kepada "juyub" artinya lubang yang membukakan dada sehingga kelihatan pangkal susu. Kadang-kadang pun tertutup tetapi pengguntingnya menjadikannya seakan terbuka juga. Dalam ayat ini sudah diisyaratkan bagaimana hebatnya peranan yang diambil oleh buah dada perempuan dalam menimbulkan syahwat. Perempuan yang beriman akan membawa ujung selendangnya ke dadanya supaya jangan terbuka, karena ini akan menimbulkan minat laki-laki dan menyebabkan kehilangan kendali mereka atas diri mereka.

Dalam filsafat pandangan hidup modern dikatakan, bahwasanya hubungan yang amat dibatasi di antara laki-laki dengan perempuan akan menimbulkan semacam tekanan batin pada seseorang. Oleh sebab itu dalam pergaulan yang bebas, sekadar pandang-memandang, bercakap bebas, bergaul dan bersenda gurau yang tak keterlaluan di antara laki-laki dan perempuan hendaklah dibiarkan. Supaya tekanan syahwat terpendam itu dapat dilepaskan sedikit.

Filsafat yang begini dimulai oleh pendapat-pendapat yang dikeluarkan oleh Sigmund Freud, ahli ilmu jiwa yang terkenal dari Austria. Menurut pendapat dan pandangan beliau, segala kegiatan hidup ini, segala amanah semangat berapi-api dalam perjuangan, kalau dikaji mendalam asalnya ialah dari syahwat terpendam itu asalnya dari libido.

Teori-teori ajaran agama yang selalu membatasi dan mengekang hubungan laki-laki dengan perempuan adalah menjadi sebab penyakit dalam jiwa itu sendiri. Malahan menurut beliau, agama itu pun asalnya ialah karena manusia merasa berdosa.

Sebab pada mulanya dahulu kala, entah apabila beliau sendiri tidak tahu, karena timbul dari beliau sendiri, yang dikatakan ilmiah sebab beliau profesor. Katanya dahulu kala manusia laki-laki setelah lahir dari perut ibunya, dia kian lama kian besar dan dewasa, lalu dia jatuh cinta kepada ibunya itu. Karena saking cintanya kepada ibunya, lalu dibunuhnya ayahnya dan disetubuhinyalah ibunya. Akhirnya dia menyesal lalu tobat dan dibuatnyalah agama. Jadi agama itu kata ilmiah Professor Yahudi Freud ialah karena manusia hendak tobat dari setubuh! Inilah yang dinamai teori Oedipus.

Dengan demikian Freud hendak menelanjangi manusia dari perikemanusiaannya yang telah diagung-agungkan beribu tahun lamanya. Seperti kawannya Marx (sama-sama Yahudinya) berfilsafat, bahwa asal-usul segala pertentangan hidup ini adalah dari perut, maka Freud menjawabnya turun ke bawah sedikit dari perut, yaitu alat kelamin.

Menurut ajaran Freud ini, tekanan pada batin karena aturan agama, terutama karena ajaran dosa waris dalam agama Kristen hendaklah dihabiskan dengan memberikan kebebasan pergaulan laki-laki dengan perempuan. Karena menurut penyelidikan beliau, demi setelah menyelidiki penyakit-penyakit dari orang-orang yang abnormal, dengan mengadakan psikoanalisa, lebih dari 70% adalah karena seks (syahwat). Sebab itu hendaklah dilatih diri itu supaya jangan ditekan oleh urusan-urusan demikian. Bebaskanlah!

Sekarang apa jadinya? Benarkah dalam pergaulan yang telah menaati teori Freud itu, dengan pergaulan bebas, manusia telah terlepas cengkeramannya?

Orang mandi di Kali Ciliwung yang masih secara primitif, atau perempuan-perempuan Bali yang terbuka dadanya, tidaklah dengan niat pada mereka sendiri hendak menggiurkan syahwat orang yang lalu-lintas. Tetapi mode pakaian yang tertutup untuk lebih terbuka, sekali pandang sudah tampak, bahwa ketika membuat dan memakainya sudah ada maksud tertentu. Yaitu untuk menarik mata laki-laki. Punggung terbuka, dada terbuka, paha terbuka, dengan maksud apa? Orang disuruh sopan, tetapi dia diperintahkan melihat. Laki-laki pun menjadi nakal. Segala sikap, lenggang dan lenggok, seakan-akan meminta lawan, seakan-akan meminta dipegang. Diadakan berbagai etiket supaya laki-laki berlaku sopan terhadap kenyataan yang ada di hadapan matanya itu. Orang tidak akan dapat mengendalikan diri lagi, jatuhlah kepada penyakit jiwa. Freud menyatakan soal penyakit jiwa dari sebab seks padahal setelah memperturutkan teorinya, penyakit seks meningkat berlipat-ganda dari dahulu.

Memang positifnya laki-laki dan negatifnya perempuan adalah undang-undang dari alam itu sendiri (natuurwet). Fitrinya ialah ingin bertemu karena keduanya mempunyai tugas, yaitu melahirkan manusia untuk menyambung turunan. Manusia tidak boleh punah dan musnah, sebab manusia tidakkah khalifah Allah dalam dunia ini. Kecenderungan laki-laki kepada perempuan dan sebaliknya, tidaklah dapat dibunuh. Oleh karena tugas suci itu, tidaklah boleh dia dilepaskan dari kekangnya, melainkan dipelihara dan diatur. Kalau peraturannya tidak ada, payahlah mengendalikan dan mengekang siksaan batin yang tidak berhenti-hentinya, yang telah terbukti pada pergaulan hidup modern ini.

Sungguh, gelak ramai perempuan menimbulkan syahwat, gerak lenggang-lenggoknya menimbulkan syahwat, pandang matanya menikam syahwat, tidaklah pantas kalau hal itu dibatasi? Sehingga kecenderungan syahwat itu dapat disalurkan menurut jalannya yang wajar?

Kemudian itu diterangkan pula kepada siapa perempuan hanya boleh memperlihatkan perhiasannya. Dia hanya boleh memperlihatkan perhiasaannya hanya kepada berikut ini:

1. Suaminya sendiri.
2. Kepada ayahnya.
3. Kepada bapa suaminya (mertua laki-laki).
4. Kepada anaknya sendiri.
5. Kepada anak suaminya (anak tiri dari perempuan itu).
6. Kepada saudara laki-laki mereka.
7. Anak laki-laki dari saudara laki-laki.
8. Anak laki-laki dari saudara perempuan (keponakan).
9. Sesama perempuan.
10. Hamba sahaya budak (semasih dunia mengakui perbudakan).
11. Pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan.
12. Anak-anak yang belum melihat tegasnya, belum tahu apa bagian yang menggiurkan syahwat dari tubuh perempuan.

Dengan suami pergaulan memang telah bebas, dan hati kedua belah pihak pun sama terbuka apabila beperhiasan.

Ayah, mertua laki-laki, cucu, keponakan, memang sudah tidak halal nikah.

Sama-sama perempuan tidak apa-apa. Budak-budak yang ada dalam rumah, ke luar ke dalam, sudah dengan sendirinya si perempuan merasa jiwanya lebih tinggi, sehingga tidak akan menimbulkan apa-apa, karena dari pangkal sudah nyata tadi, dia adalah perempuan yang beriman.

Demikian juga pelayan-pelayan rumah tangga, orang-orang gajian. Apatah lagi kanak-kanak yang masih kecil, yang belum kenal bagian-bagian tubuh perempuan yang sakti.

Ini pun hanya semata-mata kebolehan memperlihatkan perhiasan, tetapi membuka aurat atau kemaluan tetap terlarang juga.

Dengan ayat ini teranglah, bahwa berhias tidak dilarang bagi perempuan. Kalau dia perempuan, dia mesti ingin berhias. Agama tidaklah menghambat "insting" atau naluri. Setiap perempuan cantik, dan kelihatan cantik. Perhiasan pun tidak sama dahulu dengan sekarang, tetapi dasar keinginan berhias tidak berbeda dahulu dengan sekarang.

Kadang-kadang perhiasan itu berputar-putar laksana menghasta kain sarung. Setelah digali orang kuburan Fir'aun di Mesir, bertemulah perhiasan yang dipakai 4.000 Tahun yang lalu, lalu ditiru dan dijadikan mode, dia pun baru kembali. Islam tidak menghalanginya, hanya mengaturnya. Untuk siapa perhiasan itu? Tujukanlah kepada orang satu, yaitu suami, teman hidup. Berhiaslah terus untuk menambat hatinya jangan menjalar kepada orang lain. Berpuluh tahun pun pergaulan suami istri, setiap hari akan dirasai baru terus, asal saja keduanya berhias untuk yang lain. Jangan sampai di rumah berkotor-kotor saja, tetapi kalau sudah akan keluar melagak, berhias sepuas-puas hati. Untuk menarik mata siapa? Mata perhiasan yang zahir itu? Nabi kita Muhammad saw. telah mengatakan kepada Asma binti Abu Bakar ash-Shiddiq demikian,

"Hai Asma! Sesungguhnya perempuan kalau sudah sampai masanya berhaidh, tidaklah dipandang dari dirinya kecuali ini. (Lalu beliau isyaratkan mukanya dan kedua telapak tangannya)!" (hadits dhaif, -pen).

Bagaimana yang lain? Tutuplah baik-baik dan hiduplah terhormat.

Islam pun mengakui estetika (keindahan) dan kesenian. Tetapi hendaklah keindahan dan kesenian yang timbul dari kehalusan perikemanusiaan, bukan dari kehendak kehewanan yang ada dalam diri manusia itu.

Keindahan bukan untuk mempertontonkan diri dan bertelanjang, atau menggiurkan seakan-akan sikap dan isyarat berkata, "Pegang aku."

Di tengah lagi, jangan dihentakkan kaki ke tanah agar jangan diketahui oleh orang perhiasannya yang tersembunyi.

Alangkah mendalamnya maksud ayat ini jika dikaji dengan ukuran ilmu jiwa. Diketahui benar, bahwa khayal dalam soal kelamin ini kadang-kadang lebih tajam dari kenyataan.

Syahwat seorang pengkhayal bisa timbul hanya karena melihat tumit perempuan, lebih dari melihat tubuhnya sendiri. Hal ini dibincangkan oleh ahli-ahli jiwa modern panjang lebar.

Jangan dihentakkan kaki agar perhiasan tersembunyi jangan kelihatan. Alangkah dalam maksudnya. Artinya, bahwa segala sikap yang mengandung daya tarik untuk laki-laki yang mabuk kepayang hendaklah dibatasi, kalau engkau mengakui seorang perempuan yang beriman. Akhirnya Allah SWT tutup perintah itu dengan seruan,

"Dan tobatlah kamu sekaliannya kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beroleh kejayaan." (ujung ayat 31).

Disuruh tobat, karena selama laki-laki masih laki-laki dan perempuan masih perempuan, selama burung di dahan dan binatang di hutan masih berkelamin jantan dan betina, selamanya itu pula manusia tidak akan terlepas dari rayuannya. Jaranglah hati laki-laki yang tidak tergetar melihat perempuan cantik. Jaranglah perempuan yang tidak terpesona melihat laki-laki gagah tampan (ganteng kata orang Jakarta). Islam tak menutup mati perasaan itu, sebab dia tidak dapat dipisahkan dari hidup itu sendiri. Tetapi Islam menyuruh menjaganya baik-baik dan mengaturnya supaya dituntun oleh iman, diperintahkan membatasi diri, menekurkan mata, menahan hati dan menjaga kehormatan.

KESOPANAN IMAN

Sekarang timbullah pertanyaan, "Tidakkah Al-Qur'an memberi petunjuk bagaimana hendaknya gunting pakaian? Apakah pakaian yang dipakai di waktu sekarang oleh perempuan Mekah itu telah menuruti petunjuk Al-Qur'an, yaitu yang hanya matanya saja kelihatan?"

Al-Qur'an tidaklah masuk sampai kepada soal detail itu, Al-Qur'an bukan buku mode! Al-Qur'an tidak menutup rasa keindahan (estetika) manusia dan rasa seninya. Islam adalah anutan manusia di Barat dan di Timur. Di Pakistan atau di Skandinavia. Bentuk dan gunting pakaian terserahlah kepada umat manusia menurut ruang dan waktunya. Yang ditekankan oleh Islam ialah pedoman iman yang ada dalam dada dan sikap hidup yang diatur oleh kesopanan iman. Bentuk pakaian sudah termasuk dalam ruang kebudayaan, dan kebudayaan ditentukan oleh ruang dan waktu ditambahi dengan kecerdasan. Sehingga kalau misalnya perempuan Indonesia, karena arus gelombang zaman, berangsur atau bercepat menukar kebaya dengan kain batiknya dengan yurk dan gaun secara Barat, sebagaimana yang telah merata sekarang ini, Islam tidaklah hendak mencampurinya.

Barangkali larangan dari kesadaran kebangsaan dan pribadi bangsa akan lebih keras daripada larangan Islam sendiri. Karena kalau suatu bangsa telah mudah saja meniru-niru pakaian bangsa lain, tandanya, bahwa pertahanan jiwa bangsa itu mulai goyah.

Yang diperingatkan oleh Islam kepada umatnya yang beriman, baik laki-laki maupun perempuan ialah supaya mata jangan diperliar, kehormatan diri dan kemaluan hendaklah dipelihara, jangan menonjolkan perhiasan yang seharusnya tersembunyi, jangan membiarkan bagian dada terbuka, tetapi tutuplah baik-baik. Di samping pakaian-pakaian menyolok mata yang dipakai bintang-bintang film, atau pakaian mandi bikini yang ditolak oleh rasa susila, perempuan Barat pun mempunyai pakaian yang sangat sopan, baik di Amerika ataupun di Eropa. Banyak mode pakaian mereka yang sesuai dengan kehendak Al-Qur'an. Apabila keluar rumahnya mereka memakai pakaian luar (coat) menutupi pakaian dan perhiasan dalam, tangan dan kaki diberi kaus, kepala ditutup dengan topi, dada tertutup rapat, dan rasa keindahan dan berhias tidak hilang. Bila sampai di rumah kembali, barulah coat luar itu ditanggalkannya, sehingga perhiasan dalam hanya dilihat oleh suami dan anak-anak dan orang-orang gajiannya.

Kalau gelombang dan arus pakaian Barat itu sudah tak dapat ditolak lagi, mengapa tidak pakaian yang sesuai dengan kehendak agama kita yang hendak kita tiru? Mengapa tidak kita memilih yang sesuai dengan kepribadian kita?

Tidaklah seluruh pakaian Barat itu ditolak oleh Islam, dan tidak pula seluruh pakaian negeri kita dapat menerimanya.

Kebaya model Jawa yang sebagian dadanya terbuka, tidak dilindungi oleh selendang, dalam pandangan Islam adalah termasuk pakaian "You can see" juga. Baju kurung cara-cara Minang yang guntingnya sengaja disempitkan sehingga jelas segala bentuk badan laksana ular melilit, pun ditolak oleh Islam.

Dalam mode pakaian Barat pun ada selendang. Alangkah manisnya jika Babosca cara Italia dililitkan di kepala diikatkan ke leher sebagai pasangan gaun? Mengapa meniru pakaian Barat tanggung-tanggung, dan dipilih hanya yang sesuai dengan selera sendiri saja, padahal ditegur oleh agama kita?

Alhasil, dari merenungi kedua ayat di atas, tampaklah bahwa kehendak agama Islam ialah ketenteraman dalam pergaulan, kebebasan yang dibatasi oleh aturan syara', penjagaan yang mulia terhadap setiap pribadi, baik laki-laki maupun perempuan. Membawa manusia naik ke atas puncak kemanusiaan. Bukan membawanya turun ke bawah, menghilangkan ciri-cirinya sebagai insan, lalu turun menjadi binatang, sesudah mendapat psikoanalisa dan paduka Tuan Profesor Freud.

Hasil yang lain pula yang didapat dari kedua ayat ini ialah pertanggungan jawab memelihara iman yang sama diperintahkan Allah SWT kepada laki-laki dan perempuan, tidak ada perbedaan. Sebagaimana laki-laki disuruh memelihara penglihatan dan memelihara kemaluan, maka perempuan beriman pun dapat peringatan demikian. Tegasnya, jiwa perempuan beriman disuruh berkembang sendiri dengan tuntunan Ilahi, sebagai juga jiwa laki-laki.

Kalau terdapat dalam beberapa negeri Islam perempuan dikurung dalam rumah (purdah) dan disuruh menutupi seluruh badannya, sehingga hanya yang sesuai dengan selera sendiri bukanlah hal itu peraturan Islam. Hal itu timbul ialah setelah kaum laki-laki membukut segala kekuasaan dan menutup keras perempuan, supaya jangan buka mulut. Karena si laki-laki ingin berkuasa sendiri. Dia dinding dengan serba macam dinding, sehingga lama-lama perempuan itu sendiri pun tidak percaya lagi atas dirinya sendiri. Segala pintu hubungan ke luar rumah ditutup rapat, sehingga iman itu sendiri pun tidak dapat masuk ke dalam rumah. Lantaran itu maka yang menjadi pembicaraan perempuan sesamanya lain tidak hanya bergunjing, bersolek, takhyul mengintip-intip dari belakang tabir, ingin bebas berlari ke luar. Bebas melihat segala laki-laki dan lalu-lintas, dan haram dilihat oleh orang lain.

Kalau di Barat perempuan bebas lepas sesuka dengan tidak ada kontrol, maka di negeri-negeri Islam yang jumud perempuan dikurung oleh laki-laki. Keduanya kehilangan pedoman hidup. Maka jalan yang baik ialah kembali kepada jalan tengah yang diwariskan Nabi saw. Kaum perempuan tidak dikurung dan ditindas, dan tidak pula dibiarkan mengacaukan masyarakat dengan kerling matanya. Tetapi dipupuk rasa tanggung jawabnya atas dirinya, dengan bimbingan laki-laki, dalam rangka membangun masyarakat yang beriman!

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 6 Hal. 291-297, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

"Katakanlah, "Tidaklah sama barang yang buruk dengan yang baik, walaupun engkau tercengang oleh banyaknya yang buruk." (pangkal ayat 100).

Ayat ini memperteguh lagi keterangan sebelumnya. Kalau Allah menyiksa, sangatlah pedih siksa-Nya. Yang disiksa ialah orang yang memilih jalan yang buruk dan kelakuan yang buruk. Namun, Allah pun Pengampun dan Penyayang kepada orang yang berjuang mengalahkan diri dari yang buruk dan memilih yang baik. Akal yang terdidik oleh petunjuk agama dapat membedakan buruk dan baik.

Akal dapat menilai mana yang mudharat dan mana yang manfaat. Mana yang haram dan mana yang halal. Mana yang adil dan mana yang zalim. Mana kebodohan dan mana ilmu pengetahuan. Mana yang merusak dan mana yang memperbaiki. Mana yang talih dan mana yang saleh. Mana yang keras kepala dan mana yang patuh. Mana yang kafir dan mana yang Mukmin. Akal dapat membedakan itu semua.

Kadang-kadang orang yang berjuang di atas jalan yang baik seret jalannya, sedangkan yang berjuang di atas jalan jahat lancar tampaknya. Kadang-kadang harta yang haram, riba, tipu, korupsi, uang suap, pengkhianatan mudah didapat.

Di sisi lain, orang yang mencari dengan acara halal, hanya sedikit saja masuknya. Namun, hati sanubari, akal yang murni tetap mengatakan bahwa yang baik tetaplah baik, walaupun sedikit. Kejahatan tetap jahat, walaupun banyak masuknya. Sebab, akal yang murni itu adalah melihat akibat yang di belakang bukan hanya semata-mata mempercermin yang kelihatan oleh mata sekarang saja.

Kadang-kadang bertemu beribu-ribu manusia. Meskipun mereka beribu-ribu, atau bahkan berjuta-juta, mereka tidak ada artinya.

Yang berarti hanyalah segolongan kecil manusia yang pikirannya lebih bermutu dan dapat memimpin orang yang berjuta-juta itu.

Zaman sekarang ini, pergaulan atau lingkungan sangat menentukan kehalusan pribadi.

Pergaulan umum yang banyak kita lihat ialah pergaulan mungkar, pergaulan keji.

Jadi dengan segala macam ragamnya, telah menjadi permainan umum.

Minuman keras alkohol memesona.

Kaum perempuan membuka auratnya di muka umum; dadanya didedahkannya, betis dan pahanya dibukanya, perut dan pusarnya dipertontonkannya.

Orang yang tidak mau memasuki pergaulan yang sudah penuh najis itu dituduh orang kolot.

Semuanya keji, semuanya buruk. Yang buruk lebih banyak tertonjol dari yang baik.

Namun orang yang beriman, yang teguh pergaulannya dalam masyarakat Islam tidaklah akan terpesona oleh banyaknya yang buruk itu.

Yang haram tetap haram; walaupun yang haram itu telah melilit seluruh muka bumi.

Yang baik tetap baik, walaupun orang yang mengamalkannya sudah kelihatan sedikit.

Oleh sebab itu, untuk memperteguh penilaian yang baik tetap baik, walaupun sedikit dan yang buruk tetap buruk, walaupun besarnya sudah laksana gelombang di lautan, pupuklah rasa takwa dalam diri dan perteguhlah jamaah yang sepaham.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 48-49, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

SEBAB TURUNNYA "AYAT JILBAB"

-Imam Bukhari meriwayatkan dari Aisyah, Setelah turunnya perintah berhijab, suatu ketika Sau'dah (salah seorang istri Rasulullah) keluar untuk membuang hajat. Sau'dah adalah seorang wanita berbadan besar sehingga akan langsung dikenali jika berpapasan dengan orang yang telah mengenalnya. Di tengah jalan, Umar melihatnya. Umar lalu berkata, "Wahai Sau'dah, kami sungguh masih dapat mengenali engkau. Oleh karena itu, pertimbangkanlah kembali bagaimana cara engkau keluar!" Mendengar ucapan Umar itu, Sau'dah langsung berbalik pulang dengan cepat. Pada saat itu, Rasulullah tengah makan malam di rumah saya dan di tangan beliau tengah tergenggam minuman. Ketika masuk ke rumah, Sau'dah langsung berkata, "Wahai Rasulullah, baru saja saya keluar untuk menunaikan hajat. Akan tetapi, Umar lalu berkata begini dan begini kepada saya."

Tiba-tiba turun wahyu kepada Rasulullah. Ketika wahyu selesai dan beliau kembali ke kondisi semula, minuman yang ketika itu beliau pegang masih tetap berada di tangannya. Rasulullah lalu berkata, "Sesungguhnya telah diizinkan bagi kalian keluar rumah untuk menunaikan hajat kalian." (Shahih Bukhari, kitab at-Tafsiir, hadits nomor 4795).

-Ibnu Sa'ad, dalam kitab ath-Thabaqaat, meriwayatkan dari Abu Malik yang berkata, Para istri Rasulullah biasa keluar di malam hari untuk menunaikan hajat. Akan tetapi, beberapa orang munafik kemudian mengganggu mereka di perjalanan sehingga mereka merasa tidak nyaman. Ketika hal tersebut dilaporkan (kepada Rasulullah), beliau lantas menegur orang-orang tersebut. Akan tetapi, mereka balik berkata, "Sesungguhnya kami hanya melakukannya dengan isyarat tangan (menunjuk-nunjuk dengan jari)."

Setelah kejadian itu, turunlah ayat ini. Ibnu Sa'ad juga meriwayatkan hal serupa dari al-Hasan dan Muhammad bin Ka'ab al-Qurazhi.

(Asbabun Nuzul: Sebab Turunnya Ayat Al-Qur'an, Hal. 466, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2008).

SEBAB TURUNNYA "AYAT KERUDUNG"

-Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Muqatil bahwa mereka mendapat kabar bahwa Jabir bin Abdillah menceritakan bahwa Asma binti Martsad ketika itu sedang berada di kebun kurmanya. Tiba-tiba beberapa wanita masuk ke kebun tanpa mengenakan busana sehingga terlihat perhiasan (yakni gelang) di kaki mereka, juga terlihat dada dan rambut mereka. Maka Asma berkata, "Alangkah buruknya hal ini!"

Maka Allah menurunkan ayat mengenai hal itu, "Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya). (disebutkan oleh Ibnu Katsir).

-Ibnu Jarir meriwayatkan dari seseorang yang berasal dari Hadhramaut bahwa seorang wanita memasang dua gelang perak dan mengenakan batu kumala, lalu ia lewat di depan sekelompok orang dan ia menghentakkan kakinya sehingga gelang kakinya membentur batu kumala dan mengeluarkan suara.

Maka Allah menurunkan ayat, "Dan janganlah mereka menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan." (disebutkan oleh al-Qurthubi).

(Asbabun Nuzul: Sebab Turunnya Ayat Al-Qur'an, Hal. 402, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2008).

JILBAB MENURUT KH. QURAISH SHIHAB

Anda pernah lihat foto istri Ahmad Dahlan, istri Hasyim Asy’ari, istri Buya HAMKA, atau organisasi Aisyiyah? Mereka pakai kebaya dengan baju kurung, tidak memakai kerudung yang menutup semua rambut, atau pakai tapi sebagian.

Begitulah istri-istri para kiai besar kita.

Apa kira-kira mereka tidak tahu hukumnya wanita berjilbab? Pasti tahu.

Sebagaimana diketahui, soal pakaian wanita muslimah, para ulama berbeda pendapat setidaknya ada tiga pandangan.

Pertama, seluruh anggota badan adalah aurat yang mesti ditutupi.

Kedua, kecuali wajah dan kedua telapak tangan.

Ketiga, cukup dengan pakaian terhormat.

nu.or.id/post/read/61063/quraish-shihab-dan-islam-nusantara

Bahwa ketetapan hukum tentang batas yang ditoleransi dari aurat atau badan wanita bersifat zhanni yakni dugaan.

Seandainya ada hukum yang pasti yang bersumber dari al-Qur'an atau Sunnah Rasul Saw, tentu mereka tidak akan berbeda dan tidak pula akan menggunakan nalar mereka dalam menentukan luas dan sempitnya batas-batas itu. Perbedaan para pakar hukum itu adalah perbedaan antara pendapat-pendapat manusia yang mereka kemukakan dalam konteks situasi zaman serta kondisi masa dan masyarakat mereka, serta pertimbangan-pertimbangan nalar mereka, dan bukannya hukum Allah yang jelas, pasti, dan tegas.

Dari sini, tidaklah keliru jika dikatakan bahwa masalah batas aurat wanita merupakan salah satu masalah khilafiyah, yang tidak harus menimbulkan tuduh-menuduh apalagi kafir-mengafirkan. Kesimpulan yang diambil dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Forum Pengkajian Islam IAIN Syarif Hidayatullah Maret 1988 adalah "Tidak menunjukkan batas aurat yang wajib ditutup menurut hukum Islam, dan menyerahkan kepada masing-masing menurut situasi, kondisi, dan kebutuhan." (Lembaga Penelitian IAIN Syarif Hidayatullah, Kajian Islam Tentang Berbagai Masalah Kontemporer, 1988, Hal. 252).

Di Indonesia, lihatlah misalnya sebagian dari Muslimat Nahdhatul Ulama, atau Aisyiah. Ini, lebih-lebih sekitar belasan tahun yang lalu. Tentu saja para ulama kedua organisasi Islam yang terbesar di Indonesia itu memiliki alasan dan pertimbangan-pertimbangannya, sehingga praktik yang mereka lakukan itu -apalagi tanpa teguran dari para ulama- boleh jadi dapat dinilai sebagai pembenaran atas pendapat yang menyatakan bahwa yang terpenting dari pakaian wanita adalah yang menampilkan mereka dalam bentuk terhormat, sehingga tidak mengundang gangguan dari mereka yang usil.

(Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, Hal. 248-249, Penerbit Lentera Hati, Cet.Vl, 2012).

Abu Yusuf (Guru dari Imam Syafi'i, -pen), murid Imam Abu Hanifah (Madzhab Hanafi), berpendapat bahwa lengan dan separuh bagian bawah betis perempuan tak menjadi bagian dari aurat yang harus ditutupi.

(Islam Nusantara, Hal. 112, Penerbit Mizan, 2015).

Jika mau jujur dan mau membaca, pada zaman Kalifah Umar Bin Khatab seorang budak perempuan kedapatan mengenakan jilbab. ‘Umar pun marah besar dan melarang seluruh budak perempuan untuk memakai Jilbab. Lebih jauh lagi pelarangan Umar itu diungkapkan lebih eksplisit dalam kitab Al-Mughni Ibnu Qudamah.

mojok.co/2014/12/jilbab-rini-soemarno-dan-khalifah-umar

ANTARA SYARI'AH DAN FIQH

(a) menutup aurat itu wajib bagi lelaki dan perempuan (nash qat'i dan ini Syari'ah)
(b) apa batasan aurat lelaki dan perempuan? (ini fiqh)

Catatan: apakah jilbab itu wajib atau tidak, adalah pertanyaan yang keliru.

Karena yang wajib adalah menutup aurat.

Nadirsyah Hosen, Dosen Fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

luk.staff.ugm.ac.id/kmi/isnet/Nadirsyah/Fiqh.html

Hukum Islam kategori Syariah tidak diperlukan ijtihad karena kebenarannya bersifat absolut/mutlak 100%, tidak bisa ditambah atau dikurangi.

Fiqh justru harus sejalan dengan, atau mengikuti kondisi dan situasi, untuk siapa dan dimana ia akan diterapkan.

fish.uinsby.ac.id/?p=789

Sebab itu, menjadi pilihan pribadi masing-masing Muslimah mengikuti salah satu pendapat jumhur ulama: memakai, atau tidak memakai jilbab.

Tidak perlu ada ketentuan pelarangan, seperti juga tidak perlu adanya ketentuan yang mewajibkan pemakaiannya.

Biarlah masing-masing Muslimah mengikuti salah satu dari ijtihad ulama arus utama tadi dan juga kata hatinya.

nu.or.id/post/read/48516/polwan-cantik-dengan-berjilbab

PENDAPAT JUMHUR ULAMA

Sumber hukum Islam resmi ketiga, menurut sebagian besar ahli fiqih adalah ijma'. Arti yang populer adalah persamaan pendapat ulama dalam satu masalah, di dalam satu zaman. Ini pun boleh dijadikan sumber hukum resmi.

Dalam peraturan ijma' itu pun dikatakan, meskipun hanya satu orang yang membantah, dengan sendirinya ijma' itu gugur, dan tidak boleh lagi dijadikan hujjah atau hukum resmi!

(Buya HAMKA, 1001 Soal Kehidupan, Hal. 222-223, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016).

Tradisi berjilbab mulai menyebar ke berbagai belahan dunia sekitar awal 1980-an. Tepatnya pasca Revolusi Islam meletus di Iran, di mana pemimpin besar revolusi Iran Ayatullah Khomeini (SYI'AH, -pen) berhasil menggulingkan rezim Syah Reza Pahlevi. Sebuah revolusi yang oleh banyak orang disebut sebagai revolusi peradaban atas hegemoni peradaban Barat. Banyak simbol yang digunakan sebagai medium resistensi dalam revolusi Islam Iran tersebut. Di antaranya adalah Jilbab.

nu.or.id/post/read/7982/jilbab-antara-kesalehan-kesopanan-dan-perlawanan

JANGAN TABARRUJ

"Dan menetaplah kamu di dalam rumah kamu dan janganlah kamu berhias secara berhias orang jahiliyyah masa dahulu, dan dirikanlah olehmu shalat dan berikanlah zakat dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; Tiada lain yang dikehendaki Allah hanyalah hendak menghilangkan kekotoran dari kamu, hai Ahlul Bait, dan hendak membersihkan kamu sebenar-benar bersih." (al-Ahzaab: 33).

Percakapan itu yang tegas dan sopan, jangan genit!

Jangan membuat perangai yang kurang pantas sebagai istri Rasulullah.

Karena dalam cara mengucapkan kata-kata memang ada juga perempuan yang berperangai lemah gemulai, dengan kerdip mata, dengan laguan kata, dengan lenggang-lenggok.

Maka istri Nabi tidaklah boleh berlaku demikian, "Niscaya akan birahilah orang yang dalam hatinya ada penyakit."

Orang yang dalam hatinya ada penyakit itu ialah orang yang syahwat dan nafsu birahinya lekas tersinggung karena melihat tingkah laku perempuan, yang kadang-kadang dalam cara mengucapkan kata-kata, seakan-akan minta agar dirinya dipegang.

Orang Inggris menyebutnya sex appeal, yaitu menimbulkan syahwat.

Disini tampak, bahwa kata-kata yang diucapkan dengan pantas bisa terjadi kalau perempuannya mau.

Dan kata-kata yang maksud dan maknanya sama, tetapi menimbulkan syahwat orang yang mendengar pun ada pula.

Ada orang perempuan, bila dia bercakap timbullah rasa hormat dari orang laki-laki yang diajaknya bercakap.

Dan ada pula perempuan mengucapkan kata-kata yang disertai sikapnya, menimbulkan tanggapan dari laki-laki yang mendengar, bahwa perempuan itu genit, gampang diajak, asal kena rayunya.

Tiap-tiap laki-laki mempunyai rasa birahi kepada perempuan.

Tetapi ada orang sopan yang dapat menahan hatinya karena dikontrol oleh imannya

Dan ada pula yang lemah kontrol batinnya; itulah orang yang berpenyakit.

Penyakit tekanan nafsu seks.

Maka orang-orang berpenyakit ini janganlah sampai terganggu penyakitnya oleh sikap berkata-kata atau berucap dari perempuan terhormat.

Disini terutama istri-istri Nabi yang berkedudukan sebagai ibu-ibu dari orang-orang yang beriman,

"Dan janganlah kamu berhias secara berhias orang jahiliyyah masa dahulu."

Karena orang perempuan jahiliyyah masa dahulu kalau mereka berhias, ialah supaya tampak lebih cantik, lebih tertonjol, berhias agar lebih menarik mata orang.

Berhias supaya kelihatan lebih montok.

Berhias supaya mata laki-laki silau melihat.

Berhias laksana memanggil-manggil minta dipegang.

Maka kalau ajaran Nabi telah diterima, iman telah bersarang dalam dada berhiaslah tetapi berhias secara Islam, berhias yang sopan, berhias yang tidak menyolok mata.

Inilah pedoman pokok yang diberikan Allah dan Rasul terhadap istri Nabi seluruhnya dan setiap perempuan yang beriman.

Meskipun pangkal ayat dikhususkan kepada istri Nabi, bukanlah berarti bahwa perintah dan peringatan ini hanya khusus kepada istri Nabi saja.

Bukanlah berarti, bahwa seorang perempuan Islam yang bukan istri Nabi boleh berhias secara jahiliyyah, agar mata orang terpesona melihat, perempuan berpakaian namun dia sama dengan bertelanjang.

Sebab maksudnya berhias bukan untuk suaminya, melainkan buat menarik mata laki-laki lain, biar tergila-gila.

Tidaklah diterangkan dalam ayat ini apa Mode Pakaian atau Bentuk Pakaian perempuan bangsa apa yang harus dipakai, bangsa Arabkah atau Persia?

Ini adalah pedoman untuk dipakai di tiap-tiap masa dan di tiap-tiap tempat yang terdapat masyarakat Islam.

Tidak dibicarakan apakah pakaian perempuan mesti menurut model Arab di zaman Nabi, atau Rok model Eropa atau Baju Kurung secara Minang, Kebaya secara Melayu, atau Kebaya secara Jawa.

Yang jadi pokok ialah "jangan berhias secara jahiliyyah" melainkan berhiaslah menurut garis kesopanan Islam.

Maka tidaklah heran jika pada sambungan ayat disebut,

"Dan dirikanlah olehmu shalat dan berikanlah zakat dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya."

Sebab shalat, zakat, dan ketaatan melaksanakan setiap perintah Allah dan Rasul dan menghentikan yang dilarang, akan sangat besar pengaruhnya kepada pakaian dan cara berhias.

Lalu sambungan ayat menjelaskan apa sebab maka sampai soal pakaian ini pun diperingatkan oleh Allah SWT. Yaitu,

"Tiada lain yang dikehendaki Allah hanyalah hendak menghilangkan kekotoran dari kamu, hai Ahlul Bait, dan hendak membersihkan kamu sebenar-benar bersih." (ujung ayat 33).

Maka segala pesan Allah SWT untuk disampaikan oleh Rasulullah Saw kepada istri-istrinya ini menjadilah tuntunan bagi tiap-tiap perempuan yang beriman yang bukan istri Rasul;

Berpakaianlah yang sopan, jangan berhias secara jahiliyyah, janganlah shalat dilalaikan dan berzakatlah kalau ada yang akan dizakatkan dan selalulah taat kepada Allah dan Rasul.

Karena tidak lain maksud Allah SWT ialah agar terbentuk rumah tangga Islam, rumah tangga yang aman damai, dipatrikan oleh ketaatan, bersih dari perangai yang tercela atau penyakit-penyakit buruk dalam hati.

Dan penuhlah hendaknya suatu rumah tangga Islam dengan suasana Al-Qur'an.

Kita pun insaf betapa hebatnya perjuangan di zaman jahiliyyah modern ini hendak menegakkan kebenaran Ilahi.

Namun yang keji tetaplah keji walaupun banyak orang yang hanyut dibawa arusnya.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 7 Hal. 208-210, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

AURAT

Janganlah kamu lalai menjaga ketiga pakaian itu.

Pengalaman nenek moyangmu hendaklah kamu jadikan pengajaran.

Jika terbuka pakaian sebagai dasar pertama maka terbukalah auratmu.

Sungguhlah aurat itu sangat lebih baik tertutup daripada terbuka. (Sehingga setengah ulama fiqih ada yang berpendapat makruh melihat aurat kedua pihak ketika bersetubuh... Maaf).

Pakaian perhiasan, sebagai tingkat kedua yang asal ilhamnya ialah dari bulu burung, ini pun sangat bersangkut-paut dengan kelamin tadi juga. Terutama orang perempuan. Berhias adalah salah satu alat utama perempuan. Oleh sebab itu, iblis pun bisa masuk dari pakaian perhiasan itu untuk membangkitkan nafsu kelamin (seks).

Bukankah dari segi pakaian perhiasan ini iblis masuk mengacaukan dunia di zaman modern kita ini? Ingatlah apa yang dinamai "rok mini" atau "hot pants" atau "You can see" (kau boleh lihat) atau yang diisyaratkan oleh hadits Nabi, "berpakaian, tetapi bertelanjang."

Oleh karena itu, hendaklah kita, anak-anak Adam selalu memelihara ketiga macam pakaian itu, jangan sampai perdayaan iblis masuk lagi dari segi pakaian.

Kita pakai Celana dalam menutup aurat.

Orang perempuan menambah dengan Kutang yang baik, penutup Susu.

Di luar itu, kita kenakan pakaian yang bersikap berhias karena berhias termasuk nikmat Allah juga.

Namun, kedua pakaian itu kita lengkapi dengan pakaian ketiga yang menjadi pakaian sejati, yaitu Takwa.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 394, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

PERHIASAN BATIN

"Katakanlah, "Siapakah yang mengharamkan perhiasan Allah yang telah Dia keluarkan untuk hamba-hamba-Nya dan yang baik-baik dari karunia-Nya?" Katakanlah, "Dia adalah untuk orang-orang yang beriman di dalam hidup di dunia dan khusus (untuk mereka) di hari Kiamat. Demikianlah, Kami jelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang mau mengetahui." (QS. al-A'raaf: 32).

Demikianlah tuntunan yang diberikan Allah atau perintah yang diturunkan untuk mengatur hidup orang yang beriman kepada Allah, bukan mengharamkan barang yang halal, bukan pula mengabaikan rezeki yang baik-baik yang diberikan Allah.

Berhiaslah dengan dasar iman, terima apa yang dianugerahkan Allah.

Di dalam ayat ini diterangkan ziinat Allah, perhiasan Allah.

Tentu orang yang beriman telah maklum manakah perhiasan Allah, perhiasan yang disukai Allah, yang sesuai dengan iman, bukan ziinatusy-syaithan, perhiasan yang diasung-asungkan oleh setan.

Pada zaman modern sekarang ini timbullah perhiasan-perhiasan yang gila-gila, baik untuk laki-laki atau untuk perempuan.

Perhiasan-perhiasan yang menimbulkan nafsu kelamin sehingga orang berpakaian, baik laki-laki apalagi perempuan, sudah sangat jauh dari sikap hidup orang yang beriman.

Dunia dibuat menjadi gila oleh tukang atau ahli-ahli model pakaian.

Pada masa tafsir ini disusun timbullah pakaian yang membuka paha perempuan sehingga hanya sedikit auratnya saja yang memang jijik kalau itu yang kelihatan, itu saja yang tinggal tertutup.

Laki-laki perempuan bergaul bebas, mandi-mandi di tempat pemandian umum dengan pakaian menyolok mata.

Ketika penulis tafsir ini melawat ke Kota London (Desember, 1968) pada waktu itu hampirlah hari besar Natal.

Maka, keluarlah model-model pakaian yang hebat-hebat, perhiasan yang disejalankan dengan membuka aurat perempuan. Semua model pakaian yang membuat seluruh dunia jadi gila itu adalah orang-orang Yahudi.

Orang Yahudi atau yang dikenal sekarang dengan sebutan Zionis telah memakai berbagai alat untuk merusak jalan pikiran dunia dengan film, radio, televisi, model pakaian dan uang.

Maka, perhiasan demikian bukanlah zinatullah, melainkan perhiasan yang akan membawa dunia pada kehancuran akhlak.

Di dalam ayat ini dijelaskan juga tentang rezeki atau karunia Allah yang baik-baik, thayyibaati minar rizqi.

Bolehlah orang mendirikan rumah yang besar dan bagus, yang layak dengan kedudukannya.

Bolehlah orang yang mempunyai kendaraan, mobil yang indah dan bagus menurut model yang terbaru.

Namun, hendaklah pokok pangkal yang menghasilkan barang itu dari harta yang halal.

Janganlah sumber asalnya dari penipuan, korupsi dan sebagainya.

Dan, janganlah segala rezeki itu didapat dengan meninggalkan perintah Allah, lalai dari jalan Allah sehingga budi menjadi kasar karena kekurangan beribadah.

JANGANLAH BERAGAMA DENGAN MEMBUTA TULI

"Katakanlah, "Sesungguhnya yang diharamkan oleh Tuhanku hanyalah kejahatan-kejahatan, mana yang zahir daripadanya dan mana yang batin, dan dosa dan keaniayaan dengan tidak benar dan bahwa kamu persekutukan dengan Allah sesuatu yang tidak Dia turunkan keterangannya dan bahwa kamu katakan atas (nama) Allah sesuatu yang tidak kamu ketahui." (ayat 33).

Di dalam ayat ini Allah menyuruh Rasul-Nya menyampaikan bahwa bukanlah berperhiasan atau makan minum yang yang haram. Itu adalah semata kulit lahir.

Yang haram ialah melalaikan perhiasan batin atau perhiasan ruh. Apabila ruh telah terjaga baik, jangan berbuat dosa yang melanggar batas kesucian ruh itu maka janganlah cemas jika badan yang lahir ini diberi perhiasan.

Yang pertama sekali ialah agar kamu jauhi berbuat yang jahat-jahat, yang di dalam ayat ini disebut fawaahisy, yang dapat diartikan juga dengan perbuatan-perbuatan yang keji dan nista, terutama sekali yang berhubungan dengan faraj.

Di dalam zaman modern disebut soal seks, nafsu kelamin.

Diterangkan di sini kejahatan yang zahir dan kejahatan yang batin, yaitu yang berterang-terang dan yang sembunyi-sembunyi.

Sebagai keadaan yang kita hadapi di zaman sekarang, yaitu perempuan memakai pakaian-pakaian yang menarik perhatian dan nafsu kelamin, berpakaian tetapi bertelanjang, termasuklah kepada yang zahir.

Menonton pertunjukan kesenian yang mempertunjukkan badan tubuh perempuan yang sangat merangsang nafsu syahwat, itu pun termasuk dosa keji yang zahir.

Atau hubungan yang dirahasiakan dengan berbagai macam teknik. Seumpama penyakit "Homoseksual" laki-laki sama laki-laki atau yang dikatakan "Lesbian" perempuan sama perempuan dan lain-lain sebagainya.

Sebagaimana dahulu pada ayat 151 dari surah al-An'aam telah bertemu pula perihal kejahatan atau kekejian yang zahir dan yang batin itu maka dalam ayat ini dia bertemu kembali.

Kekejian seperti inilah yang diterangkan terlebih dahulu sebab semuanya ada hubungannya dengan perhiasan.

Allah tidak mengharamkan zinatullah atau perhiasan Allah.

Namun, dalam kehidupan di dunia ini kebanyakan orang berhias karena ingin dilihat, terutama dilihat oleh jenis yang berlainan.

Laki-laki berlagak supaya tiap perempuan tertarik kepadanya.

Apalagi perempuan.

Perempuan melagak agar tiap laki-laki tergiur melihatnya.

Oleh sebab itu, di dalam ayat ini Allah menyuruh Rasul-Nya, memberi ingat, bukan berhias pakaian yang haram.

Yang haram ialah jika dalam berhias itu ada terkandung maksud kelamin.

Karena apabila telah dibukakan satu pintu, akan berturut-turutlah kejahatan yang lain yang akan mengikutinya.

Maka dapatlah kita simpulkan, setelah kita simpulkan dengan ayat yang sebelumnya, bahwasanya berhias yang pantas masuk ke dalam masjid atau ber-thawaf keliling Ka'bah, tidaklah salah dan tidaklah ada orang yang mengharamkannya, demikian juga makan dan minum, bolehlah asal jangan israaf (berlebih-lebihan).

Namun, yang perlu sangat dijaga ialah budi pekerti dan kebersihan batin.

Janganlah berhias-hiasan dengan perhiasan setan yang membawa kepada jurang zina dan kemesuman.

Setelah itu, janganlah beragama dengan membuta tuli.

Tuntunan yang diberikan ayat ini sesuai benar dengan ilmu budi pekerti modern tentang pergaulan hidup dan etiket.

Ujung ayat ini pun adalah peringatan keras kepada kita agar dalam hal yang mengenai agama, kita jangan berani-berani saja membicarakannya kalau pengetahuan kita belum dapat menguasai persoalan itu.

Dan sekali-kali jangan lancang membantah, kalau bantahan kita hanya semata-mata sangka-sangka. Mengikuti saja pikiran sendiri dengan tidak ditujukan terlebih dahulu kepada firman Allah dan Sunnah Rasul, adalah puncak segala dosa.

Oleh karena itu, kalau telah mengenai hukum, halal dan haram, tidaklah boleh kita lancang-lancang saja, kalau tidak ada nash (keterangan yang jelas).

Dengan ini, bukanlah berarti ditutup pintu ijtihad.

Bahkan, ijtihad dianjurkan, meng-qiyas-kan yang furu' kepada yang ushul.

Melakukan istimbath hukum, dengan memilih ruh syari'at, setelah membandingkan hal yang baru pertama kali terjadi, dengan hal yang dahulu pernah terjadi, semuanya itu tidak dilarang oleh syara'.

Tetapi, hendaklah diingat bahwa hasil ijtihad tidaklah pasti.

Tidak ada seorang pun ulama mujtahid yang besar yang mendiktekan bahwa hasil ijtihadnya itu mutlak benar dan wajib diterima.

Sepakat seluruh ulama bahwa buah hasil suatu ijtihad adalah zhanni (berat sangka) bukan qath'i (pasti).

Hanyalah orang-orang muqallidin yang benci dan yang berbeda dari pendapat ijtihadiyah guru yang diikutinya.

Inilah pangkal bencana umat Islam.

Yaitu setelah umat dihukum oleh orang-orang muqallidin.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 401-410, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

SHALAT DAN KHUTBAH HARI RAYA

Perempuan dan Anak-Anak Pergi ke Masjid

Dengan segala kerendahan hati, saya nyatakan bahwa almarhum guru dan ayah saya, Dr. Syaikh Abdul Karim Amrullah pernah mengeluarkan pendapat bahwa perempuan tidak usah ikut serta shalat ke tanah lapang. Beliau beralasan berdasarkan pernyataan Aisyah, bahwa jika Nabi masih hidup niscaya akan dicegahnyalah perempuan pergi shalat ke tanah lapang melihat bagaimana banyak berubahnya perangai perempuan sekarang.

Ibnu Quddamah berkata di dalam al-Mughni, "Sunnah Rasulullah saw. tetap berlaku, tetapi peringatan Aisyah itu hanya peringatan untuk perempuan yang berlaku demikian."

Melihat perkembangan zaman, di mana kaum perempuan sudah teramat bebas, sebaiknya dibebaskan juga mereka mengerjakan ibadah ke tempat umum agar mereka juga turut mendengarkan ajaran-ajaran agama.

(Buya HAMKA, Tuntunan Puasa, Tarawih dan Shalat Idul Fitri, Hal. 111, Penerbit Gema Insani, Cet.1, April 2017).

AYAHKU

BELIAU MURKA

Tetapi sungguh pun begitu, beliau pernah murka besar kepada Muhammadiyah, iaitu pada Tahun 1928.

Perempuan berpidato di hadapan kaum lelaki, menurut keyakinan beliau adalah "haram", sebab dapat mendatangkan fitnah.

Dan seluruh badan perempuan itu adalah aurat.

Demikian juga, walaupun beliau menyetujui sembahyang ke tanah lapang, tetapi beliau tidak dapat menyetujui kaum perempuan mengikut pula ke tanah lapang itu. Meskipun ada hadits menyatakan bolehnya perempuan untuk pergi.

Tetapi berdasarkan kepada perkataan Siti Aisyah, bahawa jika nabi masih hidup, tentu dilarangnya perempuan-perempuan ini turut pergi sembahyang ke tanah lapang, beliau berpendapat tidak boleh.

Beliau sangat tidak bersetuju utusan-utusan Aisyiah itu pergi ke salah satu perjumpaan yang jauh dari kampungnya, tidak ditemani oleh mahramnya. Dalam beberapa pertemuan agama, telah beliau menyatakan pendirian beliau tentang segala soal itu. Tetapi rupanya tidak ada perubahan, lalu beliau susunlah sebuah buku bernama "Cermin Terus". "Berguna untuk pengurus, pencari jalan yang lurus".

Dalam buku itu, panjang lebar beliau terangkan pendapat beliau tentang kedudukan perempuan dalam agama sampai kepada kewajipan nafkahnya, batas auratnya, ukuran pakaiannya dan lain-lain. Falsafah pandangan hidup beliau kepada kaum perempuan terlukis semua dalam buku itu, iaitu pandangan yang kalau dibaca oleh pergerakan Vrouwen Emancipatie, tidak dapat diterimanya.

Dan tentu sahaja semuanya itu adalah pendapat beliau sendiri, ijtihad beliau!

Pada Tahun 1930, terjadilah Kongres Muhammadiyah di Bukit Tinggi. Panitia Kongres Muhammadiyah telah memutuskan bahawa Siti Rasyidah, seorang remaja puteri Aisyiah yang cantik akan berbicara di hadapan perjumpaan umum, yang dihadiri oleh lelaki dan perempuan. Beliau sengaja diundang dalam Kongres itu. Dan Pengurus Besar Muhammadiyah insaf bagaimana pengaruh besar beliau dan banyak bantuannya kepada Muhammadiyah.

Bagaimana akal? Buku beliau sudah keluar, menyatakan "haram" perempuan berpidato di hadapan lelaki!

(Buya HAMKA, Ayahku, 259-260, PTS Publishing House Malaysia, 2015).

KISAH POLEMIK "BUSANA MUSLIMAH" TEMPO DOELOE

AYAHKU

CERMIN TERUS DAN PELITA

PANDANGAN BELIAU TERHADAP PEREMPUAN

Pandangan beliau terhadap perempuan, rupanya adalah pandangan yang telah umum sejak zaman pertengahan dalam Islam, sangat bertentangan dengan gerakan hendak membangunkan kaum ibu dan membawanya ikut serta dalam perlumbaan hidup zaman sekarang.

Itulah sebabnya ketika gerakan Muhammadiyah mendirikan bahagian Aisyiyah, dan melihat kaum ibu telah ikut serta dalam perjumpaan-perjumpaan dan telah pergi ke tempat jauh, misalnya berangkat pergi menghadiri kongres di Yogya, atau pidato perempuan di hadapan lelaki, telah menjadi sebab untuk beliau mengarang buku "Cermin Terus" yang tebalnya lebih daripada 200 halaman.

Isinya semata-mata menyatakan pendirian beliau terhadap kaum ibu, dengan memakai alasan Al-Qur'an dan Hadits pula, iaitu menurut pilihan beliau.

TENTANGAN

Pada Tahun 1928, gerakan kaum ibu sedang bangkit dan baru menjalar ke Minangkabau. Maka tidak hairanlah jika dari pihak kaum ibu timbul tentangan yang keras.

Yang mula-mula sekali menyanggah karangan itu adalah muridnya, Rasuna Said (HR. Rasuna Said, -pen) di dalam harian "Mustika Yogya", yang ketika itu dipimpin oleh Haji A. Salim.

"Di dalam buku itu, beliau telah mengkritik sekeras-kerasnya tentang baju kebaya pendek. Disini nyata benar bagaimana sempitnya pandangan beliau tentang urusan pakaian. Memang ada juga kebaya pendek itu yang menjolok mata, misalnya potongan yang sengaja menunjukkan pangkal dada, sehingga menyebabkan hati tergiur. Tetapi disini beliau menyatakan pendiriannya itu dalam keadaan yang marah, sehingga kebaya pendek beliau katakan pakaian 'perempuan lacur.' Tentu sahaja orang yang mula mengeluarkan pertimbangan merdeka, tidak dapat menelan sahaja 'makanan' yang beliau suapkan itu."

PELITA I

Maka datanglah suatu surat bantahan dari Jakarta, dari Engku Nur Sutan Iskandar. Orang tidak dapat menerima sahaja keputusan beliau menyatakan "haram" kebaya pendek itu. Fatwa beliau dipengaruhi oleh tempat.

Memang di Sumatera Barat orang biasa memakai baju berkurung panjang, dan masih jarang memakai kebaya pendek. Tetapi keputusan beliau "mengharamkan" kebaya pendek itu adalah mengenai pakaian yang telah umum.

Lantaran bantahan itu keluarlah buku pertahanan beliau yang pertama, bernama "Pelita I". Sekali lagi beliau menghentam pemakaian kebaya pendek itu ... PELITA II dst.

Beliau tidaklah sampai melihat muridnya yang perempuan Rahmah El Yunusiyah diundang oleh Universiti Al-Azhar untuk menerangkan pengalamannya dalam memberikan pendidikan Islam bagi wanita, sebab Al-Azhar yang telah berdiri sejak 1.000 Tahun itu sekarang baru akan menuruti jejak Rahmah El Yunusiyah!

(Buya HAMKA, Ayahku, 270, PTS Publishing House Malaysia, 2015).

PAKAIAN TAKWA

(26) Wahai anak-anak Adam! sesungguhnya telah Kami turunkan atas kamu pakaian akan penutup kemaluan kamu dan pakaian perhiasan dan pakaian takwa, tetapi inilah yang lebih baik. Yang demikian itu adalah dari ayat-ayat Allah, mudah-mudahan mereka akan ingat.

(27) Wahai anak-anak Adam, janganlah sampai menipu akan kamu Setan itu, sebagai telah di keluarkannya kedua ibu-bapakmu dari surga, dia tarik dari keduanya pakaian keduanya supaya kelihatan oleh keduanya kemaluan mereka. Sesungguhnya dia itu melihat kamu, dia dan golongannya, dalam pada itu kamu tidak melihat mereka. Sesungguhnya, Kami telah menjadikan Setan-setan itu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman.

Peringatan Allah melalui kisah Adam dan Hawa dan Iblis yang di dalam surah al-A'raaf sudah selesai dan akan bertemu lagi atau diulangkan di dalam surah yang lain. Dengan disuruhnya Adam dan Hawa bersama Iblis turun ke dunia dari dalam surga itu, berkembang-biaklah keturunan Adam dan Hawa itu di dunia.

"Wahai anak-anak Adam!" (pangkal ayat 26).

Susunan seruan cara begini telah memberi kejelasan lagi bahwa Nabi Muhammad saw. bukanlah diutus kepada orang Arab saja, melainkan kepada seluruh manusia; kepada seluruh keturunan nenek moyang yang di zaman purbakala telah lebih dahulu mencencang melatih (meneroka) negeri ini atau bumi ini. Bukan kepada laki-laki saja karena anak Adam adalah laki-laki dan perempuan.

"Sesunggguhnya, telah Kami turunkan atas kamu pakaian akan penutup kemaluan kamu dan pakaian perhiasan dan pakaian takwa."

Dengan susunan ayat ini, dapatlah kita sambungkan kembali dengan ayat, gara-gara sampai nenek kita keluar dari surga, yaitu karena beliau keduanya telah tahu apa arti kemaluan alat kelamin. Mereka malu sehingga mereka ambillah daun-daun kayu surga menutupi kemaluan itu. Di sini, sudah dibayangkan bahwa malu melihat kemaluan sendiri adalah kesadaran manusia pertama akan diri. Namun, setelah mereka berketetapan di dunia dan beranak-anak, diturunkan Allah-lah pakaian. Artinya diturunkanlah kepada mereka wahyu atau ilham sehingga dapat mengatur pakaian sekadar penutup kemaluan itu. Kemudian, diturunkan pulalah pakaian yang akan menjadi perhiasan. Dengan demikian, tampaklah bahwa manusia pun diberi tuntunan dari Allah Yang Maha Tinggi akan mengenakan pakaian yang bersifat hiasan maka mengenallah manusia akan keindahan.

Di dalam ayat ini disebut riisyan, kita artikan dengan pakaian perhiasan. Sedangkan artinya yang asal ialah bulu burung. Alangkah halus bahasa wahyu itu. Bukankah bulu burung perhiasan dari burung itu sendiri? Ingatlah bagaimana indahnya burung merak dan warna-warninya bulu-bulu burung yang lain. Oleh sebab itu, di dalam ayat ini didahulukan menyebut pakaian sekadar penutup aurat, sebagaimana masih kita lihat pada bangsa-bangsa yang belum beradab. Bagaimanapun mereka bertelanjang, namun kemaluan mereka tetap mereka tutup. Mungkin begitulah juga Adam dan Hawa mulai ada di dunia

Kemudian manusia bertambah maju. Besar kemungkinan keindahan bulu burung salah satu yang memberi mereka ilham buat memakai perhiasan sehingga berdirilah sampai ke zaman kita ini pabrik-pabrik pakaian di Lanchashire dan Enschede dan negeri-negeri yang lain. Terutama perhiasaan pakaian perempuan. Tepat sekali, di atas pakaian dalam, di sebelah luarnya, kita mengenakan pakaian yang disebutkan riisyan atau bulu. Sejak zaman permulaan (primitif) bulu-bulu memegang peranan penting buat pakaian. Orang Indian Amerika menghiasi kepalanya dengan bulu burung. Raja-raja dan Jenderal-jenderal di Eropa begitu pula. Al-Qur'an sendiri di dalam beberapa surah (surah an-Nahl ayat 80), menyebut pula tentang kepentingan bulu unta dan bulu kambing. Sampai sekarang orang pergi ke Kutub Utara atau Selatan berburu beruang mengambil bulunya buat pakaian perempuan (mantel bulu). Bulu burung cenderawasih, bulu burung merak, dan lain-lain. Kopiah orang Pakistan dan Afghanistan dibuat dari bulu kambing yang masih dalam kandungan, dengan menyembelih induknya yang sedang mengandung. Kemudian, manusia membuat warna-warni pada pakaian yang dari bulu-bulu itu, manusia pun berhias diri, bersolek, melagak, mematut diri di hadapan kaca, lalu bernyanyi mencari pasangan. Maka dari itu, orang-orang yang melagak dan melenggang-lenggok mematut diri dalam pepatah orang Sunda disebut, "Merak Ngibing", burung Merak menari.

Kemudian, setelah menyebut kedua macam pakaian itu, disebut Allah-lah pakaian yang ketiga, pakaian takwa. Dengan ini, diterangkan bahwa pakaian bukanlah semata-mata dua yang lahir itu saja, tetapi ada lagi pakaian ketiga yang lebih penting, yaitu pakaian takwa, pakaian jiwa.

Ibnu Zaid menafsirkan bahwa takwa itu sendirilah pakaian.

Ibnu Abbas menafsirkan bahwa iman dan amal saleh, itulah pakaian takwa dan Allah berfirman, "Tetapi inilah yang lebih baik."

Kita teringat satu syair Arab,

"Jika seseorang tidak ada memakai pakaian takwa. Samalah dia dengan bertelanjang, walau pun dia berbaju."

Memang, beberapa banyaknya terutama orang perempuan, pakaian dan perhiasan mereka itulah yang menelanjangi jiwa mereka karena di dalam tidak ada takwa.

Coba lihat lagi susunan ayat. Pakaian bermula sekadar penutup aurat, pendinding malu. Mengiring pakaian perhiasan untuk eloknya hubungan dengan sesama manusia. Dan akhirnya serta intinya ialah pakaian takwa untuk menangkis serangan musuh besar tadi, yaitu Iblis.

Di ujung ayat Allah berfirman,

"Yang demikian itu adalah dari ayat-ayat Allah, dan mudahan mereka akan ingat." (ujung ayat 26).

Pakaian yang tiga macam itu adalah termasuk sebagian dari ayat-ayat Allah juga. Artinya, tanda kebesaran Allah yang telah memberi manusia kemajuan hidup. Memberi manusia hidup dan akal. Boleh kita rentang panjang bahwa kemajuan berpakaian, sejak dari primitif sampai kepada perhiasan adalah kemajuan hidup manusia itu sendiri, yang disebut kebudayaan. Orang memberi istilah, kebudayaan ialah usaha dan hasil usaha manusia menyesuaikan dirinya dengan alam kelilingnya. Bayangkan sajalah ini dan rentang panjanglah. Soal kemajuan berpakaian karena pengaruh iklim dan daerah, semuanya itu menjadi ayat-ayat atau tanda bahwa manusia hidup mendapat ilham dari Allah. Apatah lagi setelah Allah memberi peringatan pakaian ketiga, yaitu Takwa. Kalau diambil arti asal dari takwa, yaitu memelihara, maka pakaian lahir memelihara aurat jangan terbuka dan perhiasan memelihara rasa keindahan dan takwa memelihara jiwa.

Setelah kita masuki pergaulan hidup sesama manusia ini, terasalah oleh kita betapa pentingnya peringatan ini bagi seluruh anak Adam. Di samping pakaian yang sangat perlu penutup aurat, perlulah pakaian takwa. Di samping pakaian indah laksana perhiasan bulu bagi burung, pakaian takwa pun sama perlunya. Karena, pakaian itu pun besar pengaruhnya terhadap pribadi. Orang Inggris mengatakan, "The dress makes the man", pakaian membentuk orang. Seorang yang miskin sehingga pakaiannya hanya sekadar perlu penutup aurat bisa saja ditumbuhi penyakit "rasa rendah diri" jika bercampur dengan orang banyak. Karena kekurangan pakaian, orang tidak berani menempuh helat ramai. Maka Allah memberi peringatan bahwa pakaian takwa lebih baik. Dengan peringatan demikian, rasa rendah diri itu pun hilang.

Sebaliknya, lantaran pakaian mewah, baju warna-warni, laki-laki dan perempuan, orang bisa jadi takabbur, mengangkat diri lebih dari semestinya. Oleh sebab itu, dilarang berpakaian dengan rasa khuyalaak, artinya takabur.

Dan di dalam ayat ini bertemu pula bahwasanya agama tidak mengharamkan pakaian berhias bahkan Allah-lah yang menurunkan ilham untuknya. Pakaian berhias yang tercela hanyalah yang tidak disertai pakaian takwa batin tadi. Oleh sebab itu, dapatlah kita turuti pada lanjutan ayat,

"Wahai anak-anak Adam! Janganlah sampai menipu akan kamu Setan itu sebagai telah dikeluarkannya kedua ibu-bapakmu dari surga, dia tarik dari keduanya pakaian keduanya, supaya kelihatan oleh keduanya kemaluan mereka." (pangkal ayat 27).

Sejak semula kita telah diberi peringatan oleh Allah bahwa setan telah meminta kesempatan yang luas untuk memperdayakan Adam dan anak cucunya. Dia akan datang dari muka dari belakang dan dari rusuk kanan dan rusuk kiri, dia tidak akan berhenti sebelum maksudnya berhasil. Adapun kamu wahai insan telah diberi ilham oleh Allah berpakaian yang perlu dan berpakaian perhiasan. Di dalam memakai pakaian itu janganlah kamu lupa, perdayaan setan iblis yang mula-mula sehingga nenek moyangmu melanggar larangan maka yang mula-mula sekali terbuka ialah apa arti kemaluan, sampai mereka tergopoh-gopoh dari karena sangat malu, mencabut daun kayu surga guna penutup aurat. Sebab hendaklah kamu selalu berpakaian lengkap.

Janganlah kamu lalai menjaga ketiga pakaian itu. Pengalaman nenek moyangmu hendaklah kamu jadikan pengajaran. Jika terbuka pakaian sebagai dasar pertama maka terbukalah auratmu. Sungguhlah aurat itu sangat lebih baik tertutup daripada terbuka. (Sehingga setengah ulama fiqih ada yang berpendapat makruh melihat aurat kedua pihak ketika bersetubuh, maaf). Pakaian perhiasan, sebagai tingkat kedua yang asal ilhamnya ialah dari bulu burung, ini pun sangat bersangkut-paut dengan kelamin tadi juga. Terutama orang perempuan. Berhias adalah salah satu alat utama perempuan. Oleh sebab itu, iblis pun bisa masuk dari pakaian perhiasan itu untuk membangkitkan nafsu kelamin (seks). Bukankah dari segi pakaian perhiasan ini iblis masuk mengacaukan dunia di zaman modern kita ini? Ingatlah apa yang dinamai "rok mini" atau "hot pants" atau "You can see" (kau boleh lihat) atau yang diisyaratkan oleh hadits Nabi,

"Berpakaian, tetapi bertelanjang."

Oleh karena itu, hendaklah kita, anak-anak Adam selalu memelihara ketiga macam pakaian itu, jangan sampai perdayaan iblis masuk lagi dari segi pakaian. Kita pakai celana dalam menutup aurat. Orang perempuan menambah dengan kutang yang baik, penutup susu. Di luar itu, kita kenakan pakaian yang bersikap berhias karena berhias termasuk nikmat Allah juga. Namun, kedua pakaian itu kita lengkapi dengan pakaian ketiga yang menjadi pakaian sejati, yaitu takwa.

In syaa Allah, dengan begini tipu daya dan rayuan setan tidak akan mudah masuk kepada kita dari segi pakaian. Kemudian, Allah memperingatkan lagi tentang setan itu,

"Sesungguhnya dia itu melihat kamu, dia dan golongannya. Dalam pada itu kamu tidak melihat mereka."

Di sini Allah menyatakan betapa sulit kita berjuang, karena setan selalu melihat dan memerhatikan gerak-gerik kita. Dengar juga pepatah nenek moyang,

"Jerat tidak pernah melupakan balam, tetapi balam selalu lupa kepada jerat."

Lantaran ini apa akal? Tentu saja mesti selalu awas dan waspada. Di sinilah perlunya pakaian takwa tadi. Sebab takwa mengandung berbagai-bagai arti, yaitu memelihara, awas, tidak putus berlindung kepada Allah, tawakal, sabar, ikhlas, dzikir (ingat kepada Allah). Maka, janganlah pakaian hanya sekadar penutup aurat atau berhias jasmani, padahal Allah dibiarkan bertelanjang.

Akhirnya diberikanlah kunci ayat, yaitu peringatan yang tegas dari Allah dan kepastian yang wajar,

"Sesungguhnya, Kami telah menjadikan Setan-setan itu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman." (ujung ayat 27).

Orang yang tidak beriman adalah laksana telanjang. Tempat masuk setan terbuka di mana-mana, di muka, di belakang, di rusuk kanan, di rusuk tidak ada iman artinya tidak ada pegangan sebab kepercayaannya kepada Allah dan hari akhirat tidak ada atau tidak kukuh. Inilah yang mudah jatuh. Orang selalu memerlukan pimpinan. Jika tidak ada pimpinan Allah, pimpinan setan-lah yang akan diterimanya.

Oleh sebab itu, dengan tegas dapat dikatakan, tangkal-tangkal, ilmu kebal, azimat sihir dan mantera untuk menangkis setan, tidaklah ada yang mujarab. Yang mujarab hanyalah iman saja. Tangkal penyakit pun demikian. Kita pernah melihat di sebuah kampung berjangkit penyakit cacar. Maka, dukun-dukun menyuruh menggantungkan daun puding, daun jeluang hitam, daun jeluang putih dan urat penang di muka pintu rumah. Dan, seorang perempuan tengah mengandung, dukun menyuruh memakukan ladam kuda di muka pintu rumah. Dan, penyakit sampan menjadi. Kemudian, orang ramai-ramai mengadakan ratib tolak bala keliling kampung. Dan, banyak lagi contoh-contoh yang lain.

Maka, timbullah pertanyaan, "Apakah ini dari iman atau takwa?" Tidak! Ini adalah dari takhayul dan khurafat. Belum sah kalau pada itu digantungkan iman. Berpikirlah yang sehat. Kalau penyakit cacar menjadi, segeralah minta seisi kampung diberi injeksi abai: sakit cacar. Bukan menggantungkan sampah-sampah, sarap-sarap daun kayu di muka pintu rumah. Mikrob atau hama atau baksil penyakit yang menular di dalam kampung itu adalah termasuk golongan setan-setan yang kita manusia tidak melihatnya, padahal mereka dapat melihat kita. Setelah diteropong dengan alat pembesar (mikroskop) barulah kelihatan di dalam setitik air beribu-ribu setan kecil itu yang dapat memusnahkan manusia sekampung.

Di kampung-kampung pada zaman setengah abad yang lalu, banyak perempuan-perempuan meninggal dunia sesaat setelah melahirkan anak.

Pada masa itu, kalau perempuan hendak melahirkan anak dibawa turun ke lantai yang kotor, di sana disuruh beranak. Sehabis anak lahir, perempuan itu banyak yang mati. Dan kematian perempuan sehabis melahirkan itu dinamai diperdayakan oleh hantu lantai. Untuk menjaga jangan sampai diperdayakan hantu lantai maka sejak hamil 7 bulan ladam kuda telah dipakukan di muka pintu rumah. Begitu bodoh rupanya hantu lantai sehingga dia tidak berani masuk ke dalam rumah yang dihambat dengan ladam kuda. Apakah memasang ladam ini termasuk iman? Bukan, melainkan khurafat dan tolol. Hantu lantai ialah kotoran lantai. Apabila perempuan itu melahirkan anak di tempat yang bersih, disambut dengan segala alat yang bersih oleh bidan yang bersih pula, hantu lantai hilang dan lari.

Oleh karena itu, segala tangkal, mantra, ramuan dukun yang tidak masuk akal, semuanya itu timbul karena tidak adanya iman. Meskipun ada sedikit iman tidak disempurnakan oleh ilmu. Golongan yang begini sangat takut pada setan dan hantu, tetapi mereka telah mengerjakan pekerjaan untuk memperbanyak hantu, dan memperbesar pengaruh setan.

Oleh sebab itu, iman sebagai pertahanan batin dan takwa sebagai pakaian jiwa, lalu dilengkapi lagi dengan ilmu adalah menimbulkan nur atau cahaya sehingga setan lari terbirit-birit. Hantu lantai dan setan hama tidak tahan kena cahaya. Ibnu Abbas di dalam tafsirnya pernah mengatakan bahwa manusia yang kurang iman takut kepada setan, jin dan hantu. Namun, setan dan jin dan hantu itu lebih sangat takut dan lari sejauh-jauhnya apabila bertemu dengan orang Mukmin.

Orang-orang tua mengatakan perkataan qiyas bahwasanya setan dan hantu dan jin itu lari karena tidak tahan melihat kening orang Mukmin. Di kening orang itu tertulis dengan sinar yang terang benderang kalimat "La Ilaha illallah", tiada Tuhan melainkan Allah. Melihat itu mereka tidak tahan, takut dan lari. Pahamkanlah ini!

Dalam bulan Februari 1964, yaitu setelah 1 bulan lebih saya ditangkap dan ditahan, siang malam saya diperiksa dan dituduhkan kepada diri saya berbagai macam fitnah. Sudah ada maksud rupanya hendak memeras keterangan dari diri saya supaya memberikan pengakuan yang cocok dengan fitnah yang telah dikarangkan dan dituduhkan kepada diri saya itu.

Pada suatu malam, polisi yang memeriksa masuk ke dalam ruang tahanan saya membawa sebuah bungkusan. Melihat bungkusan itu saya menyangka, mungkin itu sebuah tape-recorder buat merekam pengakuan saya. Bungkusan itu telah diletakkan ke bawah meja. Dan, saya terus ditanyai dan ditanyai lagi, kadang-kadang lemah-lembut dan kadang-kadang kasar dan dengan paksa. Namun, karena tidak ada suatu kejadian yang akan diakui, saya menjawab seperti biasa. Setelah bosan bertanya, polisi itu pun keluar. Dan, bungkusan itu dibawa kembali.

Besok paginya salah seorang anggota polisi yang masih muda yang sejak semalam bergiliran menjaga dan mengawal saya, masuk ke dalam kamar tahanan saya. Air matanya berlinang. Dia rupanya simpati terhadap saya. Dia berkata bahwa bungkusan semalam itu adalah alat guna menyetrum saya. Katanya pula bahwa bapak Ghazali Syahlan yang sama ditahan dengan saya, telah pernah disetrum. Dia heran juga, mengapa niat menyetrum saya itu tidak dijadikan. Dalam hati, saya bersyukur kepada Allah. Dan, saya jawab, "Mungkin bapak inspektur polisi itu timbul kasihan setelah dilihatnya bahwa usia saya sudah lanjut."

Namun, beberapa hari kemudian, setelah tempat tahanan saya akan dipindahkan dari asrama polisi di Sukabumi itu, inspektur polisi yang datang ke kamar saya membawa bungkusan itu masuk ke dalam kamar saya, lalu minta saya ajarkan kepadanya doa-doa yang saya baca. Dia berkata, "Pasti ada doa-doa atau ilmu-ilmu sakti yang Pak HAMKA simpan. Saya minta dengan jujur agar Pak HAMKA sudi mengajarkannya kepada saya."

Di sinilah kelemahan saya. Saya mengakui saja terus terang dan saya tidak sampai hati menyembunyikan bahwa saya memang banyak membaca doa-doa yang diajarkan Nabi, pada saat-saat penting, terutama ketika akan tidur. Sedangkan, pada waktu aman di rumah doa ajaran Nabi itu saya baca, apalagi pada saat percobaan begini hebat.

Dia minta diajarkan. "Baik!" kata saya. Kemudian, saya ajarkan dan tuliskan. Karena dia orang yang tadi hendak menganiaya saya itu kurang fasih huruf Arab, saya tuliskan pula huruf latinnya dan saya tuliskan artinya,

"Ya Allah, aku serahkan diriku kepada Engkau. Aku hadapkan wajahku kepada Engkau. Aku pertaruhkan (titipkan) urusanku ini kepada Engkau. Aku sandarkan punggungku kepada Engkau. Aku harapkan lindungan Engkau dan aku ngeri akan murka Engkau. Tidak ada tempat berlindung dan tidak ada tempat menyelamatkan diri dari Engkau, melainkan kepada Engkau jua. Ya Allah, aku percaya kepada kitab yang Engkau turunkan dan aku percaya kepada Nabi yang telah Engkau utus."

Saya melihat wajah teman itu, dia rupanya betul-betul mempelajarinya, rupanya hendak dijadikannya bekal hidup. Dan, wajahnya bertukar dari wajah seorang pemeriksa yang ganas kepada wajah seorang murid yang ingin diberi bekal hidup. Setelah doa itu dipelajarinya, dia hendak keluar dari kamar tahanan saya dengan langkah perlahan-lahan. Namun, ketika dia hendak berdiri, saya pegang lututnya dan saya katakan, "Tunggu sebentar! Saya peringatkan kepada Saudara bahwa bagi saya sendiri doa-doa semacam itu hanyalah merupakan tambahan belaka. Yang pokok adalah sebagaimana yang Saudara saksikan sendiri selama saya Saudara tahan. Saya tidak pernah meninggalkan shalat lima waktu. Saya patuhi segala perintah Allah menurut kesanggupan yang ada, baru kemudian saya memohonkan perlindungan-Nya."

Sesudah itu, beberapa orang polisi pemeriksa lagi berbisik-bisik ke muka kamar saya minta diajarkan doa-doa. Rupanya mereka salah paham. Mereka tidak jadi menganiaya saya karena mereka sendiri yang mundur, menjadi teka-teki bagi diri mereka sendiri. Kemudian, mereka menyangka bahwa saya ada mempunyai "penaruhan". Padahal soalnya biasa saja, yaitu penyerahan yang bulat kepada Allah. Kalau Allah belum mengizinkan, tidak ada aniaya makhluk yang akan mempan. Dan, kalau aniaya itu terjadi, asal kita tawakal kepada Allah dan teguh pada takwa maka jika kita tidak ragu menerima segala ketentuan. Sebab, nabi-nabi dan orang-orang utama pun tidak kurang yang mati karena dianiaya.

Dengan perumpamaan itu, tepatlah dapat kita pahami maksud ayat yang tengah kita tafsirkan ini bahwa Allah telah menentukan bahwa setan-setan adalah pemimpin-pemimpin dari orang-orang yang tidak beriman.

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 391-397, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

PENGANTAR PENULIS

Sebagai contoh di dalam revolusi di Turki, di bawah pimpinan Kemal Attaturk. Dia mengatur revolusi nasional dengan lidah dan pedang, Ismet diutusnya berjuang lidah ke Lausanne. Dia sendiri bersama pahlawan-pahlawan lain berjuang ke medan perang Sakaria mengusir tentara Jerman! Sudah itu dilanjutkannya revolusi sosial menghapuskan paham kolot, memberhentikan sultan dan khalifah, menukar huruf Arab dengan huruf Latin, menghilangkan pengaruh kaum ulama, dan membuka cadar yang menutup muka kaum perempuan!

Kita pun berseru, "O, Tuhan! kerapkali nama-Mu yang suci diambil sandaran oleh manusia untuk melakukan kezaliman kepada sesama manusia."

MERDEKA
Penulis
HAMKA

(Buya HAMKA, ISLAM: REVOLUSI DAN IDEOLOGI, Hal. ix-xi, Penerbit Gema Insani, Cet.1, Maret 2018).

DEMOKRASI BANCI DAN EMANSIPASI MUKHANNAS

Islam dalam ajarannya yang asli dari Nabi Muhammad saw. tidak memingit perempuan. Perempuan boleh, bahkan dianjurkan turut mengambil bagian dalam pembangunan masyarakat. Dari mana ia mulai? Dari rumah tangga, melalui pendidikan anak-anak. Perempuan Islam di Indonesia dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak hanya berdiam di rumah, tetapi mereka telah tampil pula di garis depan. Kita mempunyai gerakan-gerakan perempuan Islam, seperti Aisyiyah dan Nasyiatul Aisyiyah yang didirikan oleh Muhammadiyah. Selain itu juga dari Nahdatul Ulama ada Muslimat dan Fatayat NU. Pergerakan lainnya, yakni Muslimat PERTI dan Muslimat PSII.

Kepada mereka, dari sekarang wajib kita ingatkan supaya sadar benar di garis mana mereka harus tegak dan di garis mana mereka berjuang. Mana yang milik kita dan mana yang tiruan dari demokrasi banci dan emansipasi mukhannas sehingga kaum laki-laki kehilangan ghirahnya.

Apabila Ghirah telah tak ada lagi, ucapkanlah takbir empat kali ke dalam tubuh umat Islam itu.

Kocongkan kain kafannya, lalu masukkan ke dalam Keranda dan antarkan ke Kuburan.

KALAU MASIH ADA PEMUDA ISLAM yang merasa bangga dibuang 15 Tahun karena ghirah akibat saudara perempuannya diganggu, pertanda bahwa sesungguhnya ISLAM BELUM KALAH!

(Buya HAMKA, Ghirah: Cemburu Karena Allah, Hal. 12-14, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Bagaimana engkau berani melarang saudara perempuanmu dibawa berjalan malam-malam oleh seorang pemuda, padahal engkau sendiri suka membawa gadis-gadis orang lain.

Apakah itu akan habis hingga di situ saja? Oh.... masih panjang ujungnya. Cobalah lihat sebentar lagi, tentu akan diadakan pertandingan Beauty Contest di Indonesia ini. Memilih perempuan cantik yang diukur pinggangnya sekian sentimeter, besar pinggulnya, sekian pula besar pahanya. Itu tentu akan diadakan sebab sudah dimulai dengan pertandingan Perempuan yang Paling Pandai Mengendarai Mobil. Itulah yang dinamai emansipasi. Laki-laki dan perempuan sama-sama punya hak dan kewajiban. Itulah yang dihantam oleh Filosof Jerman, Nietzsche, yang dinamakannya sebagai demokrasi banci atau dalam bahasa Arabnya mukhannas. Mulanya dihilangkan ghirah laki-laki, akhirnya laki-laki mengikuti perintah perempuan, yang kemudian perempuanlah yang berkuasa di belakang layar. Apa macam!

(Buya HAMKA, Ghirah: Cemburu Karena Allah, Hal. 11-12, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

SIRI

Seluruh suku bangsa Indonesia menurut yang saya kenal dan ketahui dalam perjalanan dan pengalaman pengembaraan saya, di Aceh, tanah-tanah Melayu, Minangkabau, Palembang, Lampung, Banjar, Kalimantan, Jawa, Sunda, Madura, Maluku, Bugis, Makassar, Mandar, Toraja, dan lain-lain umumnya mempunyai siri tentang menjaga kehormatan perempuan dan makunrai.

Oleh sebab kerasnya penjagaan dan siri terhadap perempuan ini, ketika saya masuk ke Makassar pada Tahun 1931-1934, saya lihat pada tiap-tiap pagi dan sore beratus-ratus anak perempuan pergi bekerja ke gudang-gudang hasil hutan dekat pelabuhan (Kade). Mereka berjalan berbondong-bondong dengan memakai pakaian sarung yang menutupi seluruh tubuhnya hingga mukanya pun tidak kelihatan. Orang-orang yang bertemu di tengah jalan tidak ada pula yang berani melihat lama kepada perempuan yang akan bekerja tadi. Saya juga melihat di waktu itu bendi dan dokar yang dikendarai oleh perempuan-perempuan terhormat ditutup seluruhnya dengan kain sehingga perempuan-perempuan yang berada di dalam pun tidak kelihatan.

Tentu sekarang tidak akan kita lihat lagi hal yang demikian itu karena kian lama struktur masyarakat kita berubah. Orang menuju kepada kemajuan secara Barat, modernisasi dan westernisasi. Pakaian perempuan yang diselubungi dengan kain sarung warna-warni itu tidak ada lagi, kian lama kian habis dan hanya tinggal dalam sejarah, bahkan di seluruh Indonesia datang zaman transisi. Semuanya ditiru, semuanya diteladan, modern, atau tidak modern. Sekolah tinggi atau sekolah rendah, orang berpacu memakai pakaian Barat, bukan hanya di Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja saja, bahkan di seluruh Indonesia. Sang pemuda pun berani mendekati perempuan karena ada tanda mau didekati, seperti pantun di bawah ini,

Berjalan ke pasar Talu, membeli ikan tenggiri,
Kalau tak tampak tanda mau, takut pemuda menghampiri.

Maka keberanian untuk mempertahankan siri untuk membela malu terhadap perempuan ini kian lama kian berkurang. Mungkin kian lama kian habis, tinggal hanya cerita saja.

Sebabnya mudah saja, yaitu engkau tidak berani lagi mempertahankan siri kalau saudara perempuan diganggu orang sebab engkau pun telah mengganggu saudara perempuan lain.

Sebagai penutup terkenanglah saya ucapan Kiai H. Mas Mansur dalam Kongres Muhammadiyah ke-21 di Makassar pada Tahun 1932, "Saya kagumi keberanian orang Bugis dan Makassar menghadapi maut sehingga dari karena bertengkar fasal yang sepuluh sen, mereka bisa berbunuh-bunuhan. Saya pujikan keberanian menghadapi mati itu. Akan tetapi alangkah baiknya jika ia dipergunakan untuk cita-cita yang lebih tinggi, misalnya untuk kemuliaan tanah air dan bangsa kita serta ketinggian agama kita. Sehingga sepadanlah harga kematian dengan harga yang dipertahankan...!" (3)

(3) Prasaran dalam Seminar Siri di Ujungpandang, 1978.

(Buya HAMKA, Ghirah: Cemburu Karena Allah, Hal. 137-154, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).

Pada awal dekade 70-an HAMKA mengingatkan umat Islam terhadap tantangan al-ghazwul fikr (penjajahan alam pikiran). Menurut HAMKA, penjajahan alam pikiran beriringan dengan penghancuran akhlak dan kebudayaan di negeri-negeri Islam; Sekularisasi atau sekularisme adalah setali tiga uang dengan ghazwul fikr yang dilancarkan dunia Barat untuk menaklukkan dunia Islam, setelah kolonialisme politik dalam berbagai bentuk gagal.

sukabumikota.kemenag.go.id/file/dokumen/D000598.pdf

Pada negeri-negeri yang BERKEBUDAYAAN ISLAM yang BELUM DIRUSAKKAN oleh KEBUDAYAAN BARAT, orang tidak merasa hina digantung atau dibuang atau memakai pakaian orang rantai (orang penjara), karena membunuh laki-laki yang mengganggu anak atau istri, atau saudaranya.

Karena tidak ada malu yang lebih dari itu.

Bila malu ini tidak ditebus, telah hinalah namanya dan nama keluarganya, turunan demi turunan.

Buat mencuci malu ini hanyalah satu saja, yaitu darah.

Sebab itu maka masyarakat ini tidak menghinakan orang yang terbuang atau digantung lantaran menebus malu itu.

Daripada hidup becermin bangkai, lebih baik mati berkalang tanah.

Ucapkanlah "SELAMAT JALAN" kepada BANGSA yang TIDAK ADA SYARAF-nya lagi.

(Buya HAMKA, Tasawuf Modern: Bahagia itu Dekat dengan Kita; Ada di dalam Diri Kita, Hal. 184, Republika Penerbit, Cet.3, 2015).

Sampai berpengaruh menjadi pepatah:

"Permainan laki-laki ialah bertumpah darah, permainan perempuan mencat-mengecat kuku dengan pacar (inai)."

(Buya HAMKA, Tafsir Al-Azhar, Jilid 4 Hal. 242, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015).